Kisah Pasca-Tsunami Aceh; Relawan Gila dari Jateng Selatan
Pak Lurah dan relawannya ikhlas merehabilitasi sumur-sumur di Aceh pasca-tsunami, tanpa dibayar.

Oleh Budi Laksono, dikenal sebagai “Dokter Jamban” setelah mencetak rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) atas dedikasinya membangun jamban berkelanjutan terbanyak di Indonesia, melalui yayasannya Wahana Bakti Sejahtera. Dosen Disaster Management Universitas Diponegoro (Undip) ini kerap menjadi relawan di daerah bencana.
Ketika turut membangun Gampong di Meunasah baku—yang sempat diterjang tsunami 20 tahun lalu—kami kedatangan tamu. Pak Lurah, orang yang dituakan dalam kelompoknya dan para yuniornya.
Ada yang disebut Pak Dosen, atau Pak Ustadz, dan ada beberapa anak muda.
Menurut ceritanya, beliau datang ke Aceh karena yakin saudara Aceh korban tsunami juga terdampak sumurnya sehingga perlu diperbaki sumurnnya.
Mereka berbekal pompa dan diesel.
Mereka datang tanpa diundang, keliling, mencari sumur yang saat itu sudah hitam karena terisi lumpur tsunami yang hitam pekat.
Pak Lurah permisi pada yang masih ada di sekitar. Kadang tidak tahu milik siapa, karena orangnya meninggal atau pergi.
Mereka yakin, sumur adalah sumber hidup bagi siapa saja. Maka tanpa minta bayar, pokoknya sumur dikuras, dibersihkan hingga bisa digunakan normal.
Masyarakat sekitar yang umumnya masih syok, tidak tahu bagaimana kecuali bengong.
Pak Lurah sediakan semua makanan, bahkan bagi orang yang dekat sumur karena mereka juga tak punya makanan.
Satu persatu sumur dibersihkan sehingga bisa digunakan normal lagi.
Ketika datang ke tempat kami, Gampong Meunasah Bak'u, mereka melihat sumur kami. Untungnya, sumur kami sudah kami perbaiki dengan relawan Palang Merah Indonesia (PMI).
Adik-adik PMI buka pos, utamanya untuk mengawal distribusi makanan dari kota. Tentu dengan 5 orang relawan, kerja bakti ini mudah, sehingga lebih banyak santai.
Maka, ketika kami tawarkan rehabilitasi sumur, adik adik semangat.
Saya ke kota mencari pabrik buis beton yang masih tersisa dan dapat. Sehingga aura kami dengan pejuang gila itu sama.
Pak Lurah, pejuang gila itu, bahkan mikir jauh ke depan.
Desa ini perlu air minum yang besar ke depan. Maka, diajaklah kami untuk berburu sumber air. Jalan kaki berkilo-kilo meter ke arah tebing mencari sumber air.
Akhirnya ditemukan. Pak Ustad dan Pak Dosen mengukur debitnya.
Sekali mereka ikut tidur di Meunasah Baku, pas kami sedang membangun masjid. Kami dan masyarakat membangun masjid mengikuti pola arah kiblat dari masjid lama.
Ketika Pak Dosen melihat, kami sudah membangun enam pondasi pilar. Pak Dosen ukur-ukur, dan melihat kompas.
Akhirnya beliau bicara bahwa arah kiblat kami salah.
Ini memunculkan dilema, diskusi berat dari masyarakat. Saya sendiri takut kalau ini kontra produktif.
Kami sebagai sosiolog ikuti saja keputusan yang diambil warga.
Masalah selesai ketika Pak Usman, tokoh utama di desa memberi konfirmasi, bahwa mereka semua adalah awam dan ikuti apa yang dilakukan pendahulu untuk bangun masjid.
“Bila memang Pak Dosen tahu yang benar, dan bersumpah di bawah Al-Quran, maka kami ikuti kebenaran," kata beliau.
Sungguh kalimat bijaksana yang luar biasa dan kami segera ubah pondasi yang tertanam untuk disesuaikan dengan pondasi baru sesuai kiblat yang benar.
Semua masyarakat senang, menerima dan kiblat itu jadi panduan masjid di sana hingga kini.
Ratusan sumur di Aceh berhasil dibuat kembali normal oleh tim gila "Pak Lurah" dari Kebumen.
Sungguh inspirasi luar biasa, semoga mereka semua diberi karunia sehat bahagia karena air sumurnya memberi kebahagiaan bagi saudara sebangsa, di Aceh.***
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, silahkan ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.