
Oleh Budi Laksono, dikenal sebagai “Dokter Jamban” setelah mencetak rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) atas dedikasinya membangun jamban berkelanjutan terbanyak di Indonesia, melalui yayasannya Wahana Bakti Sejahtera. Dosen Disaster Management Universitas Diponegoro (Undip) ini kerap menjadi relawan di daerah bencana.
Tanggal 5 Desember 2025, siang, Semarang sehabis Jum'atan, kami terbang ke Banda Aceh. Suatu misi yang mengganjal hati karena badan masih terasa kurang fit, tetapi saya jalankan karena setiap hari ada laporan korban yang menyayat hati.
Dari rasa menyerah, sampai akhirnya nekat berangkat. Nekat karena lagi sempit, dan tak ada support bahkan karena tak masuk tim apapun.
Tetapi, fakta di manapun di Indonesia, pengungsi kesulitan air minum yang berkepanjangan karena pendekatan teknologi tinggi dan mahal membuat air minum yang tersedia hanya sedikit dan hanya bisa diakses di posko induk.
Kedua, sudah kebiasaan bagi orang tak punya rumah, jadi berkepanjangan tak punya hunian sementara (huntara), apalagi hunian tetap.
Kebijakan yang biasa saja, apalagi kegiatan pemerintah yang dipimpin dari hotel hingga 3 atau 6 bulan pengungsi di masjid, balai desa, tak terdengar dari telinga orang di hotel.
Itu sangat berat. Apalagi, saya selalu di tengah pengungsi bila membantu. Bukan di markas atau hotel. Apalagi, ketika banyak orang di camp, masjid, dll. maka kapasitas sanitasi jadi berkurang.
Saya punya teknologi air minum sehat yang murah, mudah, cepat, sustainable. Saya guru, bertindak dengan menggunakan naluri seorang guru. Maka saya berpikir harus segera datang, membuat pilot project.
Teknologi itu adalah Starling (Stasiun Air Minum Keliling) yang bisa dibangun menetap atau bergerak, dan mudah dioperasikan oleh masyarakat awam untuk memproduksi air minum sehat, murah, cepat dan mudah dengan memakai bahan di sekitar kita.
Saya harus tunjukkan pada masyarakat, pada lembaga, pada pemerintah yang sebelumnya mereka hanya tahu alat steril air minum itu cuma dari TV, iklan tiktok atau youtube yang mahal, sulit dirawat, buatan luar negeri.
Dari Alat Penyaring Air Hingga Kebutuhan Hunian
Dengan melatih warga, tukang, bintara pembina desa (babinsa), kemudian mengadvokasikannya kepada lembaga, pemerintah, maka akan muncul kebijakan yang efektif dan efisien.
Itu harapan saya. Sekalipun tak bisa, setidaknya naluri guru saya sudah tersalurkan dan dosa ilmiah saya sudah luruh.
Kedua tentang Huntara Y2 yang siap huni bagi pengungsi dalam 20 menit. Tahan gempa, mudah diupgrade. Termasuk juga jamban sehat, cepat. Selama berpikir tentang huntara, yang saya pikirkan, adalah lamanya pemerintah menyiapkan itu.
Di banyak kasus, baru Lumajang yang pemerintahnya cepat menyiapkan hunian tetap (huntap), sehingga kami yang bikin huntara banyak yang kalah cepat dari huntap, terlebih karena Badan Zakat Nasional (Baznas) ikut mendukung dana fresh untuk huntap.
Di Aceh dahulu, ada 5 tahun huntap dan huntara dianggap baik setelah 6 bulan. Padahal, tiap hari tanpa rumah itu sedih. Laki-laki tak bisa kerja tinggalkan anak istri.
Kalau pemerintah tak didukung, didorong, di-ithikithik, maka semangat lemah. Kami bisa buat huntara cuma 20 menit bisa dihuni, tapi jika aparat tidak bisa, malah bisa malu pada masyarakat.
Dari itulah, maka saya harus datang ke Aceh. Saya buat pelatihan buat pilot dan advokasi. Semoga jadi pemacu.
Baca Juga: Benar, yang Mencekam Itu Hanya di Media Sosial
Pada Jumat kedua, sudah kami selesaikan pilot. Maka sejak itu langsung advokasi, semua kami beri laporan hasil kegiatan, termasuk juga pemerintah. Pada Jumat kedua kami sudah merambah Provinsi Aceh Banda Aceh, Pidie jaya dan Bireuen.
Setelah Jumat kedua kami bisa menyeberang, tapi Minggu, Senin dan Selasa terhambat karena jembatan rusak. Memang orang bisa lewat menaiki perahu, tetapi barang saya sangat banyak di seberang.
Untung Prof. Rajuddin mendorong untuk lanjut dan tinggalkan barang. Maka, Selasa kami sudah lanjut ke Lhokseumawe dan Jumat ini, atau Jumat ketiga, kami sudah mendekati penyelesaian 9 stasiun air minum.
Beberapa di antaranya sudah dikirim dan ada yang mau diambil. Maka, siang ini kami shalat jumat di masjid Agung Lhokseumawe, rasanya senang dan damai...
Tetapi, di depan kami masih ada Langsa, Aceh Tamiang, setelah itu Medan dan Tapanuli. Hanya berpikir, bisakah Jumat sebelum liburan Natal Tahun baru (Nataru) bisa balik, agar bisa ajak anak-istri liburan?
Memang tak ada yang suruh, beri jadwal, apalagi beri honor, karena saya sukarelawan yang berangkat dengan tiket sendiri. Tapi, kalaupun pulang jangan sampai meninggalkan titipan yang belum jadi.
Bismillah-in saja..!***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance