Semarang, TheStance – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menetapkan 27 September sebagai Hari Komedi Nasional. Alasan pemilihan tanggal ini adalah bertepatan dengan hari lahir maestro komedi, Bing Slamet.

Secara simbolis, Surat Keputusan (SK) penetapan Hari Komedi Nasional ini diserahkan kepada Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PaSKI) dalam acara Anugerah Komedi Indonesia (ANUKOM) ke-5, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

"Malam hari ini saya sangat senang diundang pada acara Anugerah Komedi Indonesia yang kelima di RCTI, oleh Pak Jarwo Kuat dan Bang Komeng, untuk menyerahkan SK Penetapan Hari Komedi Indonesia. Penetapan ini bertepatan dengan hari lahir seorang tokoh komedi Indonesia yang luar biasa, multi talenta, seorang maestro Bing Slamet, yaitu pada tanggal 27 September," ujar Fadli Zon.

Dia menilai Bing Slamet sebagai inspirasi besar bagi seniman komedi Indonesia, sehingga kelahirannya layak ditetapkan sebagai Hari Komedi Nasional.

Lebih lanjut, Fadli berharap Hari Komedi Indonesia bisa diperingati dan dirayakan bersama para seniman komedi serta masyarakat luas.

Untuk diketahui, Hari Komedi Nasional ini sebetulnya sudah diajukan PaSKI sejak bertahun-tahun, namun masih harus dilakukan pengkajian. Akhir tahun lalu, Fadli Zon kembali mengundang para komedian untuk membahas penetapan Hari Komedi Nasional, yang akhirnya baru terealisasi pada tahun ini.

Lantas, siapa sosok Bing Slamet ? Apa alasan yang menjadikannya bisa terpilih dari sekian banyak legenda komedian Indonesia?

Seniman Multitalenta

Bing Slamet

Bing Slamet, bernama asli Ahmad Syech Albar, lahir di Cilegon, Banten, 27 September 1927.

Ia tumbuh dalam lingkungan sederhana. Ayahnya bernama Rintrik Achmad bekerja sebagai pegawai urusan administrasi pasar (Mantri Pasar) pada zaman kolonial belanda.

Mengutip dari Majalah Ekspres Volume 4 tahun 1973, penyematan nama "Bing" konon diberikan oleh tiga aktor film Indonesia yaitu Panji Anom, Awaluddin, dan Basuki Zaelani.

Namun ada versi lain, bahwa yang memberikan nama "Bing" adalah aktris papan atas Fifi Young. Entah yang benar yang mana, tetapi bisa saja keduanya benar.

Nama "Bing" di depan "Slamet" terinspirasi dari penyanyi Amerika Serikat, Bing Crosby. Suara bariton Crosby khas, dan Slamet mampu menirukannya. Tak hanya suara sebenarnya, setelan dan gaya rambut Crosby juga ditiru oleh Slamet.

Wajar, karena ia memang mengagumi penyanyi sekaligus bintang film kenamaan itu. Nama "Bing" itu diberikan padanya pada 1948 ketika menyanyi sekaligus melawak di Yogyakarta.

Sejak kecil, Bing sudah akrab dengan panggung. Bing kecil tumbuh besar di tangsi polisi Cilegon. Masyarakat penghuni tangsi seringkali memanjakannya, hidupnya semasa kecil pun penuh tawa.

Di usia 12 tahun, ia bergabung dengan Orkes Terang Bulan pimpinan Husin Kasimun, sebuah kelompok musik yang mempertemukannya dengan dunia hiburan.

Manggung dan Menyentuh Hati Pendengarnya

Bakat seni Bing yang luar biasa mulai terlihat. Setahun menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Bing ikut bergabung dengan kelompok teater Pantja Warna.

Dari sana ia belajar bahwa panggung bukan hanya soal menghibur, tetapi juga soal menyentuh hati orang banyak. Bakat Bing semakin diasah ketika ia bertemu dengan nama-nama besar musik Indonesia.

Di RRI, Bing Slamet banyak menyerap ilmu dan pengalaman dari pemusik Iskandar dan pemusik keroncong tenar, M Sagi, serta sahabat-sahabat musikal lainnya seperti Sjaifoel Bachrie, Soetedjo, dan Ismail Marzuki.

Tentu saja, yang banyak memengaruhi Bing Slamet adalah penyanyi Sam Saimun yang dikenalnya sejak bertugas di Yogyakarta pada tahun 1944.

Bagi Bing, Sam Saimun adalah tokoh penyanyi panutannya. Tak sedikit yang menyebut timbre vokal Bing sangat mirip dengan Sam Saimun.

"Saya bersamanya sejak di Yogya tahun 1944. Waktu itu saya menjadi pengagumnya dan sejak itu saya mengikutinya. Dia guru saya," kenang Bing ketika pemakaman Sam pada 1972, sebagaimana dikutip dari Kompas, 18 Desember 1974.

Bing menjadi penyanyi terbaik di Pantjawarna. Bersama Pantjawarna, ia tidak hanya bernyanyi, tetapi juga mengasah kemampuan drama. Ia merambah ke dunia lawak, sandiwara radio, dan film.

“Multi-talenta” mungkin kata yang terlalu sering dipakai, tapi sulit mencari istilah lain untuk menggambarkan sosok ini. Bing adalah penyanyi, pelawak, sekaligus aktor, dan ia melakukannya dengan kesungguhan yang sama.

Komedi Sebagai Nafas Perjuangan

Kwartet Jaya

Di masa-masa sulit menjelang dan setelah kemerdekaan, Bing Slamet berkeliling menghibur rakyat dan pejuang. Suaranya hadir di radio, tawanya hadir di panggung kecil di kampung-kampung. Kenangan pahit pun dirasakannya pada masa-masa itu.

Tercatat dua kali ia merasakan rasanya dipenjara oleh pihak Jepang dan Belanda. Baginya, menghibur bukan sekadar pekerjaan, melainkan cara berkontribusi pada perjuangan bangsa.

Komedi yang ia suguhkan bukan hanya lelucon kosong, melainkan jadi jeda di tengah keletihan rakyat. Dalam tawa itu ada semangat bertahan, ada keberanian untuk tetap hidup. Ia ikut berjuang, tetapi lewat hiburan, bukan dengan moncong senjata.

"Sejak pecah revolusi di tahun 1945, Bing Slamet tidak pernah absen pula menghibur para prajurit," tulis Kompas, pada 18 Desember 1974.

Popularitas Bing semakin menanjak pada 1950-an. Ia pun mendapat julukan “Bintang Pelawak” sejak 1953, sekaligus “Bintang Radio” karena kepiawaiannya bernyanyi.

Tidak ketinggalan, dunia film pun membuka pintu dimana ia bermain di banyak judul dan berhasil menempatkan diri sebagai sosok serba bisa.

Namun di balik sorotan lampu panggung, Bing memilih hidup sederhana. Tidak ada kisah glamor berlebihan. Ia lebih senang dekat dengan rakyat, berbagi canda di warung kopi ketimbang pesta di hotel berbintang.

Agitator Revolusi Zaman Jepang

Selain menghibur, Bing Slamet juga pernah menjadi agitator yang bertugas menghasut pejuang untuk meruntuhkan pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun (1942-1945).

Bahkan pada zaman pendudukan Jepang, nama Bing Slamet menjadi salah satu incaran polisi kejam Dai Nippon bernama Kempetai.

Banyak orang zaman itu yang takut dengan Kempetai. Jika tertangkap, kecil kemungkinan lolos dan hidup. Semua pengalaman membuktikan itu. Semua pejuang yang tertangkap Kempetai tak akan bisa kembali, alias mati.

Namun Bing Slamet tak khawatir. Pekerjaan mengagitasi pejuang yang berisiko hukuman penggal Kempetai itu terus ia jalani, menyemangati pejuang dengan cara bersafari keliling Indonesia dan menggelar pementasan komedi.

Sesekali pementasan komedi ini mengudara di radio perjuangan. Suara Bing Slamet kemudian terkenang oleh para pejuang sebagai bagian dari seniman yang berjiwa nasionalis tinggi.

Bing akhirnya tertangkap, tapi oleh Belanda tatkala melancarkan Agresi Militer II ke Kota Yogyakarta. Ia dipenjara di penjara Ngapusan bersama temannya pencipta lagu "Angin Berbisik", Mathovani.

Keberuntungan datang dua kali. Mengetahui Bing dari barisan penghibur, ia pun dibebaskan lagi. Saat itu Belanda tidak tahu kalau barisan ini punya arti penting menyalakan semangat para pejuang kemerdekaan.

Guru Titik Puspa dan Benyamin S

Benyamin S

Satu lagi yang menjadikan Bing Slamet begitu istimewa bukan hanya melulu soal karyanya, tetapi juga pengaruh yang dia miliki.

Banyak seniman yang muncul setelahnya mengaku terinspirasi oleh Bing. Sebut saja, nama-nama seperti Benyamin Sueb, Titiek Puspa, hingga Kris Biantoro, pernah mendapat dorongan langsung maupun tidak langsung dari sosok Bing.

Sebagai senior, tak segan ia membimbing, memberi ruang, bahkan sekadar menyemangati rekan-rekan muda di dunia hiburan. Dari titik itu, lahirlah generasi baru yang kemudian melanjutkan tradisi komedi Indonesia.

"Dia (Benyamin) mula-mula sedikit minder buat tampil, tapi kemudian saya mendesaknya. Hasilnya seperti yang kita lihat sekarang," kata Bing Slamet dikutip dari Kiprah Seumur Hidup Benyamin S dalam Berkesenian yang dihimpun Pusat Data dan Analisa TEMPO.

"Itu sangat menggembirakan hati saya." ujar Bing Slamet, melihat kiprah seniman Betawi Benyamin S.

Tak mengherankan, ketika Bing Slamet meninggal dunia pada 17 Desember 1974 akibat penyakit liver, duka menyelimuti dunia hiburan.

Ribuan orang turun ke jalan mengiringi kepergiannya hingga ke tempat peristirahatan terakhir di tempat pemakaman umum Karet Bivak, Jakarta Pusat.

Titiek Puspa langsung menciptakan lagu khusus untuknya yang berjudul "Bing." Berbeda dari Titiek Puspa, Benyamin tidak menghasilkan lagu, tetapi memberikan wasiat.

Baca Juga: Gua Al-Jufri, Bukan Al Capone!

Di dalam wasiatnya, ia ingin dimakamkan bersebelahan dengan makam Bing Slamet yang ia anggap sebagai guru, teman, dan sosok yang sangat mempengaruhi hidupnya. Wasiat tersebut serius dilakukan Benyamin, bahkan hal itu ia sampaikan langsung kepada Pemda DKI Jakarta.

Di dunia komedi, Bing Slamet pernah beberapa kali membentuk grup lawak di rentang era 50-an hingga 70-an. Mulai dari Trio Los Gilos, Trio SAE, EBI, dan yang paling lama bertahan adalah Kwartet Jaya bersama Ateng, Iskak, dan Eddy Soed.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat bermain film terakhirnya berjudul "Bing Slamet Koboi Cengeng" yang dibintangi oleh Ateng dan Iskak.

Total, ada 20 film layar lebar yang dibintanginya, mulai dari era film hitam putih hingga berwarna.

Mengenang Bing Slamet Lewat Hari Komedi Nasional

Komeng

Pelawak Alfiansyah Bustami alias Komeng, bisa dibilang menjadi orang paling bergembira dengan ditetapkannya hari kelahiran seniman Bing Slamet 27 September, sebagai Hari Komedi Nasional.

Awalnya, Komeng mengaku iri dengan adanya Hari Musik Nasional. Kemudian, pada 2014, ia bersama pelawak lain mempunyai ide untuk memunculkan Hari Komedi Nasional di tanah air.

Tidak sedang bercanda, ia serius memperjuangkan Hari Komedi Nasional. Tanggal 27 September atau tanggal lahir Bing Slamet pun dipilihnya sebagai hari spesial untuk para komedian Indonesia.

"Kalau ada Hari Musik Nasional, maka pelawak juga butuh penghargaan. Selama ini orang lebih banyak membicarakan komedo daripada komedi sehingga banyak obat cuci muka. Maka tidak ada salahnya kita buat obat cuci rohani dengan komedi," kata Komeng dikutip dari KapanLagi.

Pada tahun-tahun berikutnya, gagasan itu terus disuarakan olehnya selaku Pemimpin Persatuan Seniman Komedi Indonesia (Paski) Jawa Barat, konsisten sampai terakhir begitu ia terpilih sebagai Senator di DPD pada tahun 2024.

Kini, cita-cita mewujudkan Hari Komedi Nasional sudah tercapai. Bing Slamet mungkin sudah tiada, tetapi warisan seni komedi yang ia tinggalkan akan terus hidup.

Seperti kutipan dari buku A Ring of Endless Light karya penulis asal Amerika Serikat Madeleine L'Engle, "Setidaknya tertawa menyembuhkan banyaknya rasa sakit." (mhs/est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance