Jakarta, TheStanceID – Keberadaan Undang-Undang (UU) Kejaksaan yang berlaku saat ini dinilai belum cukup untuk menjadikan lembaga tersebut independen, profesional, dan berintegritas.
Dalam diskusi ‘Undang-Undang Kejaksaan: antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat”, pakar hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai independensi perlu menjadi fokus pembenahan institusi Kejaksaan.
“Kalau undang-undang ini mau diperbaiki, maka penerjemahan soal independensi atau prinsip pelaksanaan secara merdeka itu yang harus dipikirkan,” tuturnya dalam diskusi yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD) di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Selama ini, lanjut Zainal, jaksa agung yang terpilih seringkali terafiliasi dengan partai politik tertentu. "Saya kira belakangan ini berulang-ulang bau partainya agak tinggi ya, walaupun ada yang menyatakan sudah berhenti sudah keluar [dari parpol]."
Mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menyoroti independensi Kejaksaan Agung yang masih menjadi masalah utama dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan.
“Kita agak sulit, atau sulit berharap kejaksaan itu lepas dari pengaruh politik. Sulit berharap profesionalisme, integritas sepanjang kejaksaan itu tidak dibangun sebagai lembaga penegakan hukum yang independen,” tuturnya.
Edwin menilai syarat sebuah lembaga untuk independen tidak terpenuhi di dalamnya karena sulit untuk terlepas dari pengaruh politik.
“Satu, dia (Jaksa Agung) diangkat oleh presiden, diberhentikan oleh presiden, kemudian masa jabatannya mengikuti masa jabatan presiden. Dia bagian dari kabinet, dia bagian dari eksekutif… Bagaimana kita bisa berharap jaksa independen?,” ungkapnya.
Format KPK Bisa Dicontoh
Board of Expert TheStanceID ini pun menyarankan perubahan UU Kejaksaan, minimal dalam hal pemilihan Jaksa Agung dengan bisa mirip dengan proses pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Harusnya kalo jaksa mau independen, harusnya ada proses seleksinya. Itu sama dengan proses seleksi pimpinan KPK. Ada pansel yang dibentuk, pansel itu terdiri dari misalnya dua unsur pemerintah, tiga unsur masyarakat,” jelas Edwin.
Kemudian, pansel akan membawa nama-nama calon Jaksa Agung ke DPR untuk kemudian diuji dan dipilih. Tugas Presiden nantinya hanya menetapkan dan melantik Jaksa Agung terpilih.
Senada dengan Edwin, Zainal yang merupakan peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM berharap ada penguatan proses pemilihan jaksa agung dalam perubahan undang-undang kejaksaan ke depannya.
Dia memberi contoh pemilihan Jaksa Agung di Amerika Serikat (AS), yang meski dipilih oleh presiden tapi harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan di tingkat Senat sebagai bagian dari proses untuk memastikan kelayakan seorang jaksa agung.
"Kemarin kita lihat kandidat menterinya Trump dihajar habis-habisan di Senat dan menurut saya itu penting sebagai proses transparansi untuk melihat dan mengukuhkan secara langsung bagaimana kejaksaan agung berhadapan dengan kepentingan presiden dan partainya," jelas Zaenal.
Ketakpastian Penegakan Hukum
Mantan Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang menyoroti ketidakpastian penegakan hukum di Pasal 8 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Sebab, pasal tersebut menyatakan setiap proses hukum terhadap jaksa harus melalui izin Jaksa Agung.
Ketentuan ini dipandang memiliki konflik kepentingan yang tinggi dan tidak memiliki prinsip fairness atau kesetaraan. "Prinsipnya, kita berada di tempat ketidakpastian yang cukup tinggi, adanya konflik kepentingan dan fairness."
Menurut Saut, jika ketentuan tersebut bertujuan untuk melindungi jaksa yang menangani kasus besar, maka diperlukan penjelasan yang lebih rinci.
Senada dengan Saut, Edwin Partogi Pasaribu menilai Pasal 8 Ayat 5 perlu dijelaskan secara definitif, khususnya terkait frasa melaksanakan tugas dan kewenangan. Dia melihat ada kemunduran kualitas hukum akibat pasal ini.
Menurutnya, izin seperti ini pernah ada sebelumnya di DPR tapi kemudian dihapus. Namun, kini muncul kembali di Kejaksaan. "Ini menunjukkan upaya menebalkan imunitas jaksa, bahkan sudah dilegalisasi melalui undang-undang."
Hak Leniensi Rawan Fraud
Selain soal independensi dan imunitas jaksa, masalah lain yang disorot dalam undang-undang Kejaksaan adalah adanya hak leniensi kejaksaan, yakni hak untuk menuntut ringan pelaku pidana.
”Limitasinya tidak jelas, dan menjadi rentan penyelewengan. Dalam rancangan perubahan UU Kejaksaan ini, batasnya makin kabur,” ungkap Edwin Partogi Pasaribu.
Dia mencontohkan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang sempat viral karena menemui buron kakap kasus perbankan Djoko Tjandra hanya dituntut 4 tahun dan denda Rp500 juta oleh Kejaksaan.
Hal ini sekaligus menunjukkan komitmen yang lemah terhadap praktik korup di tubuh kejaksaan itu sendiri.
Sebaliknya, untuk kasus-kasus masyarakat kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mekanisme restorative justice justru diajukan ke pengadilan. Kejaksaan baru menurunkan tuntutan setelah kasusnya viral dan adanya sorotan publik.
”Kita pernah dengar ada kasus Valencia alias Nensyl, yang diproses karena memarahi suaminya yang mabuk. Kejaksaan sempat menuntutnya satu tahun, tapi karena viral, kemudian tuntutannya menjadi bebas,” terangnya.
Zainal Arifin Mochtar menilai fenomena penegakan hukum yang timpang dan bias viralitas ini menunjukkan kontradiksi kejaksaan. Parameter yang tidak jelas membuat jaksa tak bisa menegakkan hukum dengan hati Nurani dan rawan penyelewengan.
”Harus ada parameter yang jelas supaya orang tidak menduga macam-macam. Jangan-jangan karena ini jaksa dengan jaksa, lalu ada pertimbangan yang njelimet-njelimet seperti seakan-akan menggali betul, ini [Pinangki] adalah ibu. Tapi, di kasus lain, pertimbangannya menjadi sangat berbeda,” jelasnya.
Denda Damai Sering Diselewengkan
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai perlu ada lembaga khusus yang mengawasi kinerja kejaksaan, agar tidak terjadi penyelewengan, misalnya seputar penetapan denda damai.
Menurut dia, denda damai memang bisa saja menjadi opsi penyelesaian administratif jika ada pelanggaran ekonomi seperti tindak pidana penyelundupan atau bea masuk. Namun, kadang disalahgunakan oleh jaksa menjadi denda demi keuntungan pribadi.
“Ya adalah beberapa kasus gitu, tapi ini saya menjamin bukan fitnah. Ada kasusnya gitu lho. Beberapa kasusnya yang terjadi seperti itu,” ucapnya.
Keberadaan lembaga pengawasan, kata Abdul Fickar, menjadi langkah preventif dari praktik penggunaan kekuasaan jaksa secara tidak benar.
“Di mana ada kekuasaan di situ, ada potensi penyelewengannya sebenarnya… Kesadaran bahwa penegak hukum itu juga manusia, maka lembaga-lembaga pengawasan itu secara sistemik menjadi penting,” ujarnya. (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.