Jakarta, TheStanceID – Kematian tragis pendaki asal Brasil, Juliana Marins (27 tahun), di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, kembali mengingatkan bahaya aktivitas pendakian. Juliana terjatuh ke jurang sedalam 600 meter saat menempuh jalur ekstrem menuju puncak gunung pada Sabtu (21/6/2025).
Tapi insiden yang menimpa Juliana bukan yang kali pertama. Gunung Rinjani dengan ketinggian lebih dari 3.700 mdpl itu sudah beberapa kali meminta korban. .
Berdasarkan catatan TheStanceID, selama periode Desember 2021 hingga Mei 2025, enam pendaki gunung terjatuh ke jurang Rinjani, dan hampir semuanya tewas.
Hanya satu yang selamat, yaitu Paul Farrell, pendaki asal Irlandia. Dia yang terjatuh ke jurang sedalam 200 meter saat turun dari puncak Rinjani pada 9 Oktober 2024 tapi berhasil dievakuasi dan hanya menderita luka ringan.
"Itu pengalaman yang menakutkan. Saya berdoa kepada Tuhan agar saya bisa keluar dari sana hidup-hidup, atau hanya dengan beberapa tulang patah." ujar Ferrel dalam wawancara dengan BBC Brasil ketika itu.
3 Pendaki Tewas Dalam Sepekan
Kematian pendaki asal Brasil, Juliana Marins, di Rinjani, menambah daftar panjang kasus kematian pendaki di gunung karena kecelakaan.
Dalam sepekan terakhir, tercatat tiga kasus kematian pendaki di gunung berbeda.
Selain Juliana, seorang pendaki bernama Jovita Diva Prabudawardani (21), asal Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah juga tewas usai jatuh ke dalam jurang sedalam 180 meter di Gunung Muria, Jawa tengah.
Korban yang merupakan lulusan Universitas Muhammadiyah Kudus itu ditemukan oleh tim SAR gabungan dalam keadaan meninggal dunia pada Rabu (25/6/25) siang, sekitar pukul 11.20 WIB.
Jovita diketahui terpeleset dan jatuh ke dalam jurang saat sedang mengabadikan pemandangan dengan handphone.
Korban meninggal di gunung berikutnya adalah Ayon alias Indra (60). Pria itu dilaporkan hilang saat hiking di kawasan Gunung Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dia akhirnya ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Jenazah korban dievakuasi pada Rabu (25/6/2025), setelah tiga hari pencarian oleh tim SAR gabungan.
Ayon ditemukan di tebing curam sekitar 60 meter di bawah jalur setapak dan 100 meter dari permukaan Lokasi tersebut sulit dijangkau, hingga tim penyelamat membutuhkan waktu hampir sehari untuk melakukan evakuasi.
Persiapan Sebelum Mendaki Gunung
Mendaki gunung merupakan aktivitas yang menantang sekaligus menyenangkan. Namun, di balik keindahan alam dan kepuasan mencapai puncak, terdapat risiko yang tidak bisa disepelekan
Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan (Gakkum Kemenhut) Dwi Januanto Nugroho mengingatkan pentingnya persiapan yang baik sebelum mendaki gunung.
Dirinya menekankan bahwa jangan pernah berencana mendaki sebuah gunung hanya karena untuk bisa eksis di media sosial dan ikut-ikutan alias FOMO (Fear of Missing Out).
"Jangan mendaki gunung karena FOMO atau ikut-ikutan demi membuat konten. Yang terpenting persiapan sebelum mendaki harus maksimal, termasuk mengenali medan dan kawasan gunung yang akan didaki" kata Dwi, pada Kamis (15 Mei 2025).
Risiko utama dalam pendakian, terutama gunung yang memiliki puncak cukup tinggi, adalah medan terjal yang licin dan berbahaya.
Di Rinjani, jalur pendakian sering dijuluki “jalur neraka” karena memiliki tanjakan ekstrem, pasir longsor, dan minim pegangan yang membuat pendaki mudah terpeleset.
Menurut Dika Pradipta, anggota penyelamatan gunung dari Tim SAR, keselamatan adalah hal yang utama dalam mendaki gunung.
"Pastikan selalu melaporkan rute pendakian kepada pihak terkait dan selalu membawa perlengkapan keselamatan seperti pita carabiner dan tali pengaman.” katanya.
Ia menyarankan, sebelum memulai perjalanan, pastikan untuk mempelajari jalur yang akan ditempuh. Kenali medan yang akan dilalui dan persiapkan diri dengan perlengkapan yang sesuai.
Pendaki juga perlu memperhatikan rambu peringatan serta petunjuk arah resmi sepanjang jalur.
Jika menemui situasi yang dinilai berbahaya atau merasa tidak yakin dengan kondisi fisik maupun cuaca, lebih baik memilih mundur dan menghindari risiko yang lebih besar.
Tantangan Cuaca Ekstrem
Cuaca ekstrem juga menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pendakian. Kabut tebal, hujan mendadak, atau suhu dingin yang ekstrem dapat mengganggu orientasi, memperburuk visibilitas, dan meningkatkan risiko kecelakaan.
Dr. David Richardson, pakar meteorologi dari Universitas Colorado, Amerika Serikat, menyebutkan perubahan cuaca yang cepat dan ekstrem dapat menjadi ancaman serius bagi para pendaki gunung.
Hujan deras, angin kencang, atau badai petir dapat terjadi secara tiba-tiba, dan mengancam keselamatan pendaki yang tidak siap.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, para pendaki disarankan untuk selalu memantau prakiraan cuaca sebelum dan selama perjalanan.
Perlengkapan pelindung seperti jas hujan, jaket tahan angin, serta pakaian berlapis harus disiapkan dengan cermat.
"Perlengkapan yang tepat sangat penting dalam mendaki gunung. Mulai dari sepatu gunung yang nyaman, pakaian yang sesuai dengan cuaca, hingga perlengkapan darurat seperti obat-obatan dan peta jalur pendakian," ujar Ahmad Fauzi, seorang ahli gunung dari Indonesian Mountain Guides Association (IMGA).
Tidak Disarankan Mendaki Seorang Diri
Tak kalah penting dalam setiap pendakian adalah menjaga keamanan pribadi. Sangat disarankan agar pendaki tidak melakukan perjalanan seorang diri.
Mendaki bersama teman atau bergabung dengan kelompok pendaki akan menambah rasa aman, karena terdapat dukungan timbal balik jika terjadi keadaan darurat.
Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengingatkan pentingnya saling menjaga dalam grup pendakian untuk mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan, seperti pendaki terpisah dari rombongan atau mengalami kecelakaan dalam pendakian.
"Dalam pendakian, yang paling utama adalah keselamatan. Kalau kita ada dalam grup, kita tetap di dalam grup. Saling menunggu, saling melihat, saling membantu," katanya.
Menurutnya, mematuhi peraturan pendakian dan berada di dalam grup pendakian merupakan upaya mitigasi yang harus dilakukan para wisatawan.
"Kita tidak boleh blaming the victim, tapi kalau kita ada dalam grup, kita tetap stick di dalam grup," tambahnya lagi.
Pendaki juga wajib membawa perlengkapan pertolongan pertama serta alat komunikasi darurat seperti ponsel dengan sinyal kuat atau radio portabel.
Kesadaran akan potensi bahaya dan kesiapan dalam menjaga keamanan menjadi kunci utama dalam menjelajahi gunung secara bijak. Apalagi, banyak jalur berada di lokasi terpencil tanpa sinyal, sehingga kondisi darurat sulit ditangani secara cepat dan tepat.
Evaluasi SOP Wisata Pendakian
Ahli Manajemen Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menekankan bahwa seharusnya insiden dalam aktivitas pendakian bisa dicegah.
Menurut Eko, pengelola perlu membuat aturan terpadu untuk pemandu dan pendaki, termasuk standar bagi yang mendaki sendiri atau beregu.
Sebelum pendakian, pengelola wajib memastikan bahwa pendaki dan pemandu memenuhi prasyarat pendakian seperti peralatan, logistik, termasuk pengetahuan akan medan.
“Perlu lebih baik terutama dari taman nasional, agar kembali menyusun standar operasional prosedur mulai dari persyaratan kesehatan, logistik, komunikasi. Bagi pendaki dan pemandu wisata juga dipersiapkan agar mempermudah jika ada hal-hal yang tidak diinginkan,” papar Eko dikutip dari Tirto.
Selain itu, komunikasi yang baik antara pemandu dan pengelola akan membuat tim SAR memberikan pertolongan lebih cepat. Tim pencari dan penolong sendiri dinilai perlu memastikan ada evaluasi terkait pertolongan yang efektif dan sigap saat menghadapi insiden di medan yang ekstrem.
Pengelola, pemandu, pendaki, tim SAR, hingga pemerintah perlu selalu menyadari bahwa menciptakan aktivitas pendakian yang aman diperlukan kerja sama dari seluruh pihak. Nasib memang tak bisa ditolak, namun musibah seharusnya bisa dicegah. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.