Si Kabayan & Debat Rostow vs Frank-Amin (3): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Perdebatan Rostow vs Frank-Amin bukan zero-sum game. Yang dibutuhkan adalah integrasi strategis dan adaptasi untuk kondisi tiap negara dan zaman. Indonesia bisa belajar dari Vietnam untuk building capabilities, dengan strategi anti-dependency. Tapi yang paling penting: lawan judi online.

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.
"Sekarang tentang Indonesia," Kabayan melanjutkan dengan suara bergetar. "Kita gagal karena kombinasi kegagalan modernisasi dan dependency trap."
Dari perspektif Rostow, Indonesia gagal membangun 'preconditions for take-off' yang berkualitas.
Investasi pendidikan besar tapi tidak strategis—lulusan teknik sedikit, lulusan administrasi banyak
Investasi infrastruktur besar tapi tidak productivity-enhancing—jalan bagus tapi untuk angkut raw materials ke pelabuhan
Institutional development lemah—korupsi merusak semua sektor
Dari perspektif Frank-Amin: Indonesia terjebat dalam updated colonial structure
Mengekspor sawit mentah, mengimpor makanan olahan—pola pinggiran klasik
Mengekspor batu bara dan gas, mengimpor peralatan listrik—hubungan kolonial modern
Foreign investment masuk tapi tanpa technology transfer dan local content requirements
"Yang paling menyakitkan: Indonesia memiliki daya tawar besar—pasar 280 juta orang—namun seringkali diserahkan begitu saja tanpa negosiasi."
Tiba-tiba Kabayan mengambil napas dalam dan mengungkap sesuatu yang membuat seluruh aula terdiam. Bahkan para mahasiswa PhD berhenti mengetik.
"Tapi ada satu hal yang tidak diprediksi oleh teori Pak Rostow maupun Pak Frank-Amin: digital dependency through behavioral manipulation."
Plot Twist: JUDOL sebagai New Form of Dependency
"Minggu lalu saya baru tahu tentang Judi Online (JUDOL) dengan perputaran Rp1.200 triliun per tahun di Indonesia. Ini bentuk baru dependency yang tidak pernah dibayangkan: instead of extracting our natural resources, they're extracting our human mental capacity."
Frank dan Amin terlihat tertarik, sementara Rostow mengerutkan kening dengan ekspresi bingung.
"Platform JUDOL mostly operated dari Kamboja dan Filipina, tapi target market utama Indonesia. Mereka tidak perlu kontrol tanah atau pabrik—cukup kontrol mental patterns dari 8,8 juta orang Indonesia termasuk 520.000 anak-anak."
Baca Juga: Si Kabayan & Debat Rostow vs Frank-Amin (2): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Kabayan melanjutkan dengan suara semakin keras: "Pak Frank, ini dependency pattern yang lebih sophisticated: instead of making us dependent on their manufactured goods, they make us dependent on their digital addiction platforms."
"Pak Rostow, ini menghancurkan 'preconditions for take-off': delayed gratification, long-term planning, productive investment habits — semua diganti dengan instant gratification gambling mentality."
Rostow terlihat thoughtful sambil mengangguk pelan: "Kabayan, you're describing what we might call 'behavioral underdevelopment'—the erosion of psychological prerequisites for economic modernization. Most concerning indeed."
Frank mengangguk keras sambil menunjuk ke Kabayan: "Exactly! This is 21st-century colonialism—instead of controlling our ports and mines, they control our minds and wallets. Same extraction logic, different medium."
Amin menambahkan dengan excitement yang terkontrol: "And look at the numbers—Rp1.200 trillion flowing out of Indonesia annually! That's more than your entire palm oil export revenue. Siklus ekspor mental—impor kebangkrutan, disguised as 'entertainment.'"
"But this also proves agency matters," Amin melanjutkan dengan nada optimis. "Countries that banned online gambling — like the Philippines in 2024—show that dependency can be broken through political action."
Sintesis Final: Kerangka Terintegrasi
Kabayan berjalan ke whiteboard dan mulai menggambar diagram yang lebih sederhana dari biasanya. "Berdasarkan pengalaman saya, ini kerangka terintegrasi untuk memahami pembangunan:"
Level 1: Foundational Capacity (Rostow's insights)
Pendidikan teknis & vokasi yang link ke industri
Infrastruktur yang produktif, bukan kosmetik
Reformasi institusi & penegakan meritokrasi
Budaya kerja & inovasi (anti-instant gratification)
Level 2: Structural Position (Frank-Amin's insights)
Peran dalam rantai nilai global
Negosiasi syarat perdagangan & investasi yang menguntungkan
Transfer teknologi dan local content requirements
Kontrol atas aliran finansial
Level 3: Strategic Agency (Missing from both theories)
Kapasitas negara untuk navigate global pressures
Timing dan sequencing reforms yang tepat
Selective engagement dengan pasar global
Pembelajaran dari pengalaman negara lain
"Vietnam, Korea, Tiongkok berhasil karena mereka kuat di ketiga level. Indonesia lemah di semua level. Tapi yang paling berbahaya: digital dependency patterns seperti JUDOL secara sistematis menghancurkan Level 1 while deepening Level 2 dependency."
Q&A Session yang Mencerahkan
Seorang mahasiswa PhD dari Nigeria bertanya dengan aksen yang kental: "Kabayan, based on your framework, what should countries like Nigeria or Indonesia do differently?"
Kabayan menjawab sambil tersenyum: "Three things simultaneously, tidak bisa satu-satu:"
"First, fix the fundamentals (Rostow's agenda) but in a strategic way:"
Pendidikan yang terkoneksi ke industry needs, bukan sekedar literasi
Infrastruktur yang productivity-enhancing, bukan yang cuma bagus difoto
Institusi yang merit-based dan corruption-free—no exception
"Second, reshape dependency structure (Frank-Amin's agenda) through state strategy:"
Force technology transfer dalam setiap foreign investment
Build domestic supply chains dan industrial clusters
Use market size sebagai bargaining chip, jangan dikasih gratis
"Third, protect cognitive sovereignty (new agenda for digital age):"
Ban atau strictly regulate digital addiction platforms seperti JUDOL
Invest in digital literacy dan critical thinking skills
Build domestic digital ecosystem yang produktif, bukan ekstraktif
Frank bertanya dengan nada skeptis: "But Kabayan, doesn't this require strong state capacity? Which I believe whats i's exactly what's lacking inside peripheral countries?"
"Betul sekali, Pak Frank. That's why transformation tidak bisa incremental. Butuh apa yang orang Tiongkok sebut 'crossing the river by feeling the stones' — bold experimentation dengan strong state backup."
Seorang pejabat World Bank di barisan depan bertanya: "But how do you convince international investors to accept these conditions?"
Kabayan tertawa: "Pak, pasar 280 juta orang itu aset besar. Vietnam dengan 98 juta orang saja bisa dictate terms ke Samsung dan Intel. Masalahnya bukan investor tidak mau—masalahnya kita tidak pernah minta."
Epilog: Pelajaran untuk Indonesia
Debat berakhir larut malam dengan standing ovation yang panjang. Ketiga tokoh itu—Rostow, Frank, dan Amin—mendekati Kabayan dengan rasa hormat yang tulus.
"Young man," kata Rostow sambil menjabat tangan Kabayan dengan erat, "you've helped me understand that modernization theory needs to account for global power structures and timing. Context indeed matters."
Frank menambahkan sambil menepuk bahu Kabayan: "And you've shown that dependency theory must recognize agency dan possibility of selective delinking rather than total isolation. Not all dependencies are permanent."
Amin menutup dengan senyum lebar: "Most importantly, you've identified new forms of 21st century dependency yang our theories didn't anticipate. Digital colonialism adalah threat yang sangat real."
Dalam perjalanan kembali ke Indonesia, Kabayan merenung di pesawat sambil menatap awan:
"Ternyata perdebatan Rostow vs Frank-Amin bukan zero-sum game. Keduanya menangkap aspek penting pembangunan. Yang dibutuhkan adalah strategic integration dan adaptation untuk kondisi masing-masing negara dan zaman."
"Indonesia bisa belajar dari Vietnam: use Rostow's stages thinking untuk building capabilities, tapi dalam framework Frank-Amin's anti-dependency strategy."
"Tapi yang paling urgent: lawan JUDOL dan digital dependency lainnya yang sedang menghancurkan mental foundation untuk any development strategy."
Baca Juga: Si Kabayan & Debat Rostow vs Frank-Amin (1): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Saat pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, Kabayan sudah punya clarity baru. Bukan cuma soal memilih antara teori yang berkompetisi, tapi memahami bagaimana mensintesis mereka untuk konteks historis spesifik Indonesia.
"Maybe it's time to stop healing dan start writing Indonesia's strategic development framework based on integrated insights dari all these great minds," pikirnya sambil melihat cakrawala Jakarta di pagi hari.
Tapi kemudian dia teringat sesuatu: "Eh, tapi Si Pitung masih sibuk perang melawan JUDOL. Diagnosis dan sintesis teori boleh canggih, tapi kalau fondasi mental masyarakatnya hancur, percuma juga."
"Truth is rarely pure and never simple. Development theory, like development practice, requires nuanced integration of competing insights rather than dogmatic adherence to single paradigms—especially when facing 21st-century challenges that no classical theory anticipated."
— Catatan terakhir Kabayan setelah Debat Abad yang mengubah perspektifnya tentang pembangunan nasional.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.