Semangat Pembela HAM di Balik Jubah Paus Leo XIV
Prevost adalah anak imigran di Chicago yang tinggal lama di pelosok Peru dan berkutat dengan persoalan Hak Azasi Manusia (HAM).

TheStanceID - Dunia mengenal banyak pemuka agama, tapi hanya segelintir yang memilih untuk bersuara saat ketidakadilan terjadi di depan mata. Jarang ada suara yang dengan lantang berbicara membela hak-hak kaum tertindas.
Robert Francis Prevost—yang kini dikenal sebagai Paus Leo XIV—adalah satu dari sedikit yang berani menempuh jalan itu.
Kamis pagi, 8 Mei 2025, Vatikan dipenuhi harapan baru. Para kardinal telah membuat pilihan: memilih seorang Paus dari Amerika Serikat (AS) untuk pertama kalinya.
Seorang pengikut Ordo Agustinian—yang pernah diikuti Martin Luther selaku pendiri Kristen Protestan, Prevost adalah anak imigran di Chicago yang tinggal lama di pelosok Peru dan berkutat dengan persoalan Hak Azasi Manusia (HAM).
Bagi mereka yang mengenalnya sejak lama, pemilihannya sebagai Paus bukan sekadar peristiwa religius—ini adalah peneguhan akan nilai-nilai yang telah lama diperjuangkan Prevost: kemanusiaan, keberanian moral, dan keteguhan hati.
Selama mengabdi di Peru sepanjang 1980-1990an, Pastor Prevost dikenal peduli terhadap rakyat jelata dan korban kekerasan rezim Alberto Fujimori, seorang imigran asal Jepang.
Namun di sisi lain, dia juga membela mereka yang jadi korban pelanggaran HAM oleh kelompok komunis Sendero Luminoso (Jalan Gemilang), yang notabene adalah lawan dari Fujimori.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sosok Paus Leo XVI dan kepeduliannya terhadap isu HAM, alangkah baiknya kita membaca sekilas perjalanan hidup sang Paus ini.
Kehidupan Awal sebagai Imigran
Di tengah angin musim gugur Chicago pada 14 September 1955, lahirlah anak laki-laki yang kelak menapaki jalan panjang menuju Vatikan.
Robert Francis Prevost, putra dari Louis Marius Prevost—berdarah Prancis dan Italia—dan Mildred Martínez yang berasal dari keturunan Spanyol, tumbuh dalam hangatnya keluarga bersama dua saudaranya, Louis Martín dan John Joseph.
Latar belakangnya sebagai sosok yang lahir dari keluarga imigran ini yang membentuk cara pandang Prevost dalam melihat dunia sebagai tempat yang netral dan terbuka bagi semua.
Sejak muda, tanda-tanda panggilan imamat sudah terlihat. Ia menapaki pendidikan di Seminari Minor milik Ordo Agustinus, sebelum ke Universitas Villanova di Pennsylvania, di mana ia meraih gelar sarjana Matematika sambil memperdalam filsafat.
Pada 1 September 1977, arah hidupnya kian jelas: ia masuk novisiat Ordo Santo Agustinus di Saint Louis, sebuah langkah awal menuju hidup bakti. Ia mengikrarkan kaul pertama pada 2 September 1978 dan mengikrarkan kaul kekal pada 29 Agustus 1981.
Panggilan untuk melayani umat membawanya jauh dari rumah. Setelah menyelesaikan studi teologi di Catholic Theological Union di Chicago, ia dikirim ke Roma untuk mendalami hukum kanon di Universitas Santo Tomas Aquinas (Angelicum).
Di sinilah, pada usia 26 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Jean Jadot, tepatnya pada 19 Juni 1982. Namun Roma bukanlah tempatnya untuk tinggal lama.
Medan Perjuangan di Peru
Pada 1985, Robert dikirim ke Chulucanas, Peru—sebuah misi Agustinus di kawasan terpencil. Di sana, ia mengenal denyut kehidupan umat yang bersahaja. Ia tidak hanya belajar bahasa mereka, tapi juga memahami irama harapan dan luka mereka.
Tahun-tahun di Trujillo Peru menjadi bab penting dalam hidupnya. Ia menjadi prior komunitas, pembimbing para frater, dan pengajar hukum kanon, patristik, serta teologi moral.
Tak hanya itu, ia juga menggembalakan umat di pinggiran kota sebagai imam paroki, menyentuh hati mereka satu demi satu.
Di wilayah miskin dan penuh konflik seperti Chulucanas dan Trujillo, ia tidak hanya menjadi imam, tetapi juga sahabat, pembela, dan pelindung bagi mereka yang kehilangan suara.
Tahun-tahun itu bukanlah masa tenang. Peru dilanda kekerasan dari dua arah: kebijakan keras pemerintah di bawah Alberto Fujimori, dan teror yang ditebarkan oleh kelompok gerilyawan Komunis, Sendero Luminoso.
Di antara kobaran api politik, Robert memilih untuk berpihak pada mereka yang kehilangan rumah, kehilangan anak, kehilangan harapan. Masa jabatannya sebagai Uskup Chiclayo dari 2014 hingga 2023 ditandai dengan komitmen kuat terhadap HAM.
Ia secara terbuka mengkritik keputusan pemerintah yang kontroversial, seperti pemberian grasi kepada Alberto Fujimori, yang dihukum atas pelanggaran HAM berat.
Prevost menekankan pentingnya pertobatan dan keadilan bagi para korban, menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi kekuasaan demi prinsip moral.
Hadapi Tuduhan Kasus Pelecehan
Namun, perjalanan Prevost tidak tanpa tantangan. Ia menghadapi tuduhan terkait penanganan kasus pelecehan seksual di gereja Peru dan Chicago.
Meski beberapa pihak mempertanyakan keputusannya, banyak yang membela termasuk jurnalis Pedro Salinas, yang menyatakan bahwa Prevost selalu berpihak pada korban dan transparan dalam tindakannya.
Prevost sendiri menegaskan pentingnya pelaporan dan penanganan yang adil terhadap setiap kasus, menunjukkan komitmennya terhadap integritas dan keadilan.
Setelah lebih dari satu dekade di Peru, pada 1999, Robert kembali ke Chicago dan diangkat sebagai Prior Provinsial Agustinus wilayah “Mother of Good Counsel.”
Kepemimpinannya yang hangat dan tegas membawanya terpilih sebagai Prior Jenderal Ordo Agustinus pada 2001, dan kembali dikukuhkan untuk masa jabatan kedua pada 2007.
Pada 2025, Prevost terpilih sebagai Paus Leo XIV, membawa serta pengalaman dan nilai-nilai yang ia pegang teguh selama di Peru.
Baca Juga: Mengenal Paus Leo XIV, Sosok Baru Pengganti Paus Fransiskus
Sebagai Paus pertama dari Ordo Agustinus dan dari AS, ia membawa harapan untuk bisa melanjutkan warisan Paus Fransiskus dalam menekankan sinodalitas dan perhatian terhadap kaum marjinal.
Dengan semangat pelayanan dan dedikasi terhadap HAM, Paus Leo XIV melangkah ke panggung dunia, membawa harapan akan gereja yang lebih inklusif. (mfp)
Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.