Sekolah Rakyat, antara Warisan Inpres Soeharto dan Cita-Cita Prabowo
Meski belum berjalan penuh, Sekolah Rakyat sempat menjadi sorotan publik menyusul isu pengalihan anggaran bantuan sosial (bansos) dialihkan demi mendukung program ini. Maklum, anggarannya mencapai Rp2,3 triliun untuk tahun ini saja.

Jakarta, TheStanceID - Sekitar 50 tahun setelah Orde Baru meluncurkan program Sekolah Inpres secara masif, Presiden Prabowo Subianto menginisiasi program serupa dengan nama baru: Sekolah Rakyat.
Mulai digelar pada Juli 2025 di 63 lokasi perintis, program ini menyasar anak-anak keluarga tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan, nutrisi, dan pembinaan karakter secara terpadu.
Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 mengenai Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan serta Keputusan Menteri Sosial Nomor 49/HUK/2025 tentang Tim Formatur Penyelenggara Sekolah Rakyat.
Mantan jenderal ini menekankan bahwa proyek Sekolah Rakyat bukan semata-mata pembangunan infrastruktur pendidikan, melainkan juga strategi untuk mengangkat taraf hidup masyarakat kurang mampu.
“Anak orang kurang mampu tidak boleh miskin. Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak boleh jadi pemulung. Kita harus berdayakan,” ujarnya.
Nantinya, anak-anak yang tergolong dalam keluarga miskin dan miskin ekstrem, berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), khususnya pada desil 1 dan desil 2 (kategori paling miskin) akan menjadi siswanya.
Kategori desil 1 adalah kelompok dengan tingkat kesejahteraan terendah atau 10% terbawah dalam populasi rumah tangga nasional, dengan penghasilan kurang dari Rp800 ribu per bulan. Desil 2 mencakup penghasilan antara Rp800 ribu-Rp1,2 juta.
“Jadi inginnya Presiden kita ingin membuat semacam sekolah untuk keluarga yang miskin ekstrem. Terutama, ya yang miskin ekstrem,” ujar Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul.
Meniru SD Inpres?
Konsep Sekolah Rakyat ini mengingatkan program SD Inpres yang digagas Presiden Soeharto pada awal 1970-an. SD Inpres hadir untuk memperluas akses pendidikan dasar, terutama bagi anak keluarga kurang mampu dan wilayah terpencil.
Anak-anak usia 7–12 tahun diberi kesempatan mengenyam pendidikan di SD Inpres, lengkap dengan dukungan fasilitas seperti tenaga pengajar, buku pelajaran, serta sarana pembelajaran lainnya.
Menurut Indonesia.go.id, program SD Inpres mulai digulirkan setelah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1973 tentang Pembangunan SD dalam kerangka Pelita II.
Selama 1973 hingga 1995, pemerintah berhasil membangun sekitar 150 ribu unit SD Inpres dan menempatkan lebih dari 1 juta guru. Total anggaran mencapai Rp6,5 triliun hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I).
Atas keberhasilan program tersebut, pada 19 Juni 1993 Presiden Soeharto menerima penghargaan The Avicenna dari UNESCO. Nama penghargaan ini diambil dari tokoh ilmuwan Muslim abad ke-10, Ibnu Sina.
Pelaksanaan SD Inpres terjadi pada 1970-an hingga 1990-an. Namun menjelang akhir masa Orde Baru dan memasuki era reformasi hingga awal 2000-an, pembangunan sekolah dengan skema Inpres mulai menurun.
Program ini berangsur-angsur berhenti, meskipun tidak secara resmi dinyatakan berakhir. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara de facto, program SD Inpres telah usai.
Saat ini, bangunan SD Inpres masih dipakai, terutama di pedesaan. Namun, sekolah-sekolah tersebut telah beralih status menjadi SD Negeri biasa yang dikelola oleh pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan.
Lanjutkan Semangat SD Inpres
Perubahan pemerintahan turut menggeser pendekatan pemerataan pendidikan. Pascareformasi, pemerintah merilis program lain seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), wajib belajar 9 tahun, dan sekolah berbasis masyarakat dan inisiatif daerah.
Terbaru, Presiden Prabowo merilis program Sekolah Rakyat yang dirancang sebagai pendidikan gratis dengan sistem asrama. Lulusan diharapkan tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga tangguh sebagai agen pengentas kemiskinan.
Rencananya, akan dibangun 200 sekolah yang masing-masing dirancang untuk menampung 1.000 siswa. Menteri Sosial, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Menteri Koordinator Perekonomian mengawal program ini.
Pada Selasa (10/6/2025), Kementerian Sosial secara resmi membuka rekrutmen guru Sekolah Rakyat. Terdapat 1.554 formasi jabatan fungsional guru ahli pertama yang akan ditempatkan di 100 sekolah.
Rinciannya, 63 lokasi masuk dalam tahap Ia dan 37 lainnya di tahap Ib. Calon guru yang melamar diwajibkan telah memiliki sertifikat Pendidikan Profesi Guru (PPG). Pemerintah daerah (pemda) dilibatkan di sini.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota telah diarahkan untuk menyediakan lahan seluas 8,5 hektare sebagai lokasi tetap Sekolah Rakyat. Proses rekrutmen siswa sudah dimulai, termasuk kunjungan ke rumah calon peserta didik oleh pemda.
Mengutip laman resmi Sekolah Rakyat, kurikulum sekolah ini akan disusun secara kontekstual dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa serta kondisi sosial tempat mereka tinggal.
Ada tiga lapis kurikulum yang disiapkan. Pertama, kurikulum persiapan (learner preparatory) sebelum memasuki pembelajaran, yang menjadi tahap awal pemetaan potensi siswa melalui asesmen kesiapan fisik, mental, dan akademik.
Kedua, kurikulum formal yang merujuk pada standar nasional, meliputi kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Struktur ini dikembangkan sesuai peraturan dari Kemendikdasmen, Kemendikbudristek, Kemenag, dan Kemensos.
Ketiga, kurikulum asrama yang bertujuan memperkuat karakter, kepemimpinan, nilai-nilai spiritual, nasionalisme, kemampuan komunikasi, dan bahasa.
Dengan ketiga jenis kurikulum tersebut, lulusan Sekolah Rakyat diharapkan memiliki fondasi akhlak yang kuat, kepemimpinan, kecakapan berbahasa, literasi digital, jiwa kewirausahaan, serta prestasi akademik yang solid.
Diduga Ambil Alokasi Bansos
Meski belum berjalan penuh, Sekolah Rakyat sempat menjadi sorotan publik menyusul isu pengalihan anggaran bantuan sosial (bansos) dialihkan demi mendukung program ini.
“Bansos tidak ada dialihkan untuk Sekolah Rakyat. Yang bansos ya tetap untuk bansos. Presiden memerintah kepada kita dari awal tidak mengubah bansos dan malah ditambah sama Presiden,” ujar Menteri Sosial Gus Ipul.
Sebagai contoh, ia menyebutkan bantuan pangan non-tunai (BPNT) untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) tetap disalurkan seperti biasa, bahkan ditingkatkan sebesar Rp200 ribu per KPM per bulan.
Namun, dia mengakui jumlah penerima bansos memang berkurang karena pencoretan sekitar 1,9 juta keluarga dari daftar penerima, karena tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan pembaruan data DTSEN.
Program Sekolah Rakyat memiliki anggaran terpisah, totalnya Rp2,3 triliun untuk 100 sekolah di tahun ajaran 2025-2026 atau Rp48,25 juta untuk 8.500 siswa. Biaya tersebut mencakup kebutuhan seragam, laptop, dan perlengkapan sekolah lainnya.
Untuk tahap I, jumlah Rombongan Belajar (Rombel) sebanyak 396 kelas dengan total siswa mencapai 9.780 orang dari jenjang SD, SMP, dan SMA. Sebagian besar Sekolah Rakyat tahap awal ini menggunakan fasilitas milik Kemensos.
Sekolah-sekolah yang dibuka pada Juli mendatang bersifat sementara, sambil menunggu penyelesaian pembangunan gedung permanen oleh pemerintah daerah.
Terkait sarana dan prasarana di 100 lokasi, alokasi anggaran untuk 354 rombel mencapai Rp487,1 miliar. Fasilitas yang dibangun meliputi laboratorium, ruang komputer, fasilitas seni, perpustakaan, asrama, dapur, serta ruang kelas.
Untuk penyusunan kurikulum, dialokasikan dana sebesar Rp3,7 miliar. Kebutuhan tenaga pengajar dan pendidik dialokasikan anggaran Rp1,11 triliun. Operasional sekolah senilai Rp187,7 miliar, dan dukungan teknis dan administratif sebesar Rp116,6 miliar.
Bagus di Konsep, Belum Tentu Berlanjut
Kepada TheStanceID, pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai program Sekolah Rakyat berkonsep beda dari SD Inpres era Orde Baru. Dia mengingatkan keberlangsungan program ini di masa depan, terutama jika terjadi perubahan kepemimpinan.
“Kalau terjadi pergantian rezim, bisa saja komitmennya berubah. Tidak ada jaminan program ini akan berlanjut. Jadi sebetulnya yang paling penting itu adalah bagaimana menjamin semua anak miskin bisa mendapatkan akses pendidikan,” tuturnya.
Maka, harus dipikirkan dari awal bagaimana pemanfaatannya di masa depan apakah tetap bisa digunakan untuk pendidikan formal atau non-formal bagi peserta didik.
“Saya tidak menyebutnya bahaya, tapi itu sesuatu yang perlu diantisipasi. Karena ini ditujukan untuk anak-anak dari keluarga miskin, tentu harus banyak diberikan pendidikan keterampilan,” sambung Aktivis Pendidikan Taman Siswa ini.
Selain itu, ia juga mengkhawatirkan bahwa kehadiran program ini justru berpotensi menimbulkan kekacauan dalam sistem tata kelola pendidikan nasional, terlebih di tengah proses revisi Undang-Undang Sisdiknas dan regulasi terkait lainnya.
Keterlibatan Kemensos juga patut dipertanyakan. “Jika Kementerian Sosial juga ikut mengelola pendidikan, nanti posisinya di dalam UU Sisdiknas akan seperti apa? Jadi, menurut saya, persoalan utamanya justru terkait dengan aspek tata kelola.”
Darmaningtyas juga menyoroti aspek homogenitas. Jika anak keluarga miskin ditempatkan dalam lingkungan sejenis, mereka tidak akan memperoleh manfaat sosial yang luas, karena hubungan sosialnya hanya terbatas pada sesama kelompok miskin.
“Ada yang kaya, ada yang menengah, ada yang miskin maka jejaring sosialnya pun akan lebih luas. Kalau mereka bersahabat setelah lulus, bisa saling membantu. Tapi kalau relasinya hanya sesama miskin, maka kondisinya akan tetap sama,” ujarnya.
Karena itu, aktivis pendidikan ini menilai model seperti ini kurang mendukung mobilitas sosial ke atas. Jika tujuan pemerintah adalah pengentasan kemiskinan lewat pendidikan, menurutnya yang paling efektif adalah dengan memberikan beasiswa penuh.
“Berikan Kartu Indonesia Pintar, misalnya, agar mereka bisa sekolah sampai jenjang SMA. Tapi biarkan mereka tetap bergaul dalam lingkungan yang luas, tidak hanya dengan sesama kelompok miskin,” tegasnya.
Peluang Strategis Sekolah Rakyat
Pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jejen Musfah menilai Sekolah Rakyat sebagai peluang strategis mendorong kemajuan bangsa Indonesia.
Menurutnya, program ini bukan sekadar respons sementara terhadap persoalan, melainkan langkah jangka panjang memutus rantai kemiskinan dan ketertinggalan yang selama ini menjerat kelompok rentan.
“Mereka selama ini tidak berdaya. Sekolah Rakyat memberi peluang untuk naik kelas, menjadi warga yang berpendidikan, kompeten, dan siap bekerja menghasilkan inovasi,” ujarnya kepada TheStanceID.
Ia menegaskan bahwa semakin banyak individu yang memiliki pendidikan dan keterampilan, maka semakin besar pula kemungkinan Indonesia menjadi negara unggul dan kompetitif.
Dalam pandangannya, Sekolah Rakyat adalah bentuk nyata dari penyediaan pendidikan gratis dan bermutu bagi seluruh anak bangsa.
“Bangsa ini kaya, namun selama ini salah kelola. Pendidikan harus menjawab kebutuhan zaman, perkembangan teknologi-informasi, dan perubahan sosial,” tambahnya.
Jejen juga menyoroti pentingnya pendidikan dalam membentuk karakter. Menurutnya, tujuan pendidikan tidak hanya mencetak lulusan yang cakap, tetapi juga yang memiliki integritas moral.
“Pendidikan yang baik akan melahirkan generasi yang menolak korupsi—penyakit akut yang terus menggerogoti bangsa ini,” ujarnya.
Baca Juga: Kebijakan Dedi Mulyadi Masuk Sekolah Jam 06.30 Pagi Dinilai Sporadis dan Bahayakan Siswa
Menanggapi kritikan bahwa Sekolah Rakyat meniru konsep SD Inpres dalam aspek kebijakan yang bersifat terpusat dari atas (top down), Jejen menilai pendekatan demikian tidak selalu bermakna negatif.
Baginya, yang terpenting Sekolah Rakyat mengembangkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi nyata peserta didik dan lingkungan sosialnya sehingga bisa menjadi bekal untuk mengangkat harkat hidup mereka.
“Model pembelajaran Sekolah Rakyat harus seimbang antara teori dan praktik. Sekolah harus bekerja sama dengan berbagai industri sebagai tempat magang agar siswa terbiasa dengan dunia kerja sejak dini,” ujarnya.
Darmaningtyas berharap pengelola Sekolah Rakyat diberi ruang untuk mengeksplorasi metode yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Menurutnya, kunci keberhasilan ada pada pemberian otonomi dalam mengelola pendidikan sesuai karakter peserta didik.
“Jadi, bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal otonomi dalam pengelolaan,” tuturnya. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.