Protes Bias Media AS tentang Palestina, Jurnalis Bakar Diri
Bias pro-Israel media AS terlampau parah: misinformasi & manipulasi fakta. Sebagian jurnalis memilih mundur, ada yang bakar diri.

Washington, TheStanceID - Samuel Jena Jr., seorang fotojurnalis stasiun TV lokal Arizona Family, negara bagian Arizona, Amerika Serikat (AS) membakar tangan kirinya dalam sebuah demonstrasi pro-Palestina di Washington Ahad lalu (6/10/2024).
Aksi bakar diri itu dilakukan Jena Jr. sebagai protes atas pemberitaan media AS yang manipulatif tentang genosida di Gaza. Dia ikut menyebarkan manipulasi itu dan merasa bersalah.
"Kami menyebarkan misinformasi!" teriaknya dengan tangan kiri yang terbakar.
Demonstran lain dan polisi yang sedang mengawal aksi pro-Palestina itu pun terkejut dan bergegas bahu-membahu memadamkan api yang membakar lengan Jena Jr. Lengannya terbakar gosong, tapi jiwanya bisa selamat.
Insiden bakar diri ini terjadi jelang peringatan 1 tahun serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Israel membalas serangan tersebut dengan membombardir Gaza dan menegaskan tidak lagi membedakan antara target sipil atau militer.
Angka resmi sejauh ini menyatakan korban tewas Palestina mencapai 41.825 orang, sedangkan Israel 1.205 orang.
Namun angka itu banyak dibantah. Jurnal medis terkenal di Inggris, The Lancet, merilis estimasi bahwa jumlah korban tewas Palestina mencapai 186.000 orang atau lebih.
Peringatan setahun genosida Israel di Gaza ini diramaikan dengan aksi pro-Palestina di berbagai negara.
Aksi Bakar Diri Kesekian Kali
Ini bukanlah kali pertama orang melakukan aksi bakar diri sebagai protes atas serangan Israel di Gaza. Pada Februari 2024, seorang pilot TNI-AU AS, Aaron Bushnell meninggal setelah membakar dirinya di luar kedutaan Israel di Washington D.C.
Bushnell memprotes "apa yang dialami rakyat Palestina di tangan penjajahnya" dan menyatakan bahwa ia "tidak akan lagi terlibat dalam genosida" sebelum menyiram badannya dengan cairan yang mudah terbakar dan membakar dirinya sendiri.
Saat dia terbakar, Bushnell berulang kali meneriakkan "Free Palestine!"
Polisi berusaha membawa Bushnell ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak bisa diselamatkan.
Sebelum Bushnell, Pada bulan Desember 2023, seorang pengunjuk rasa juga melakukan aksi bakar diri di depan konsulat Israel di negara bagian Georgia, AS.
Aksi bakar diri terakhir yang melibatkan jurnalis ini makin menegaskan parahnya bias pemberitaan media AS terkait Israel.
Ini memang bukan hal baru, tapi sudah lama jadi kritik para jurnalis. Tradisi jurnalisme Barat yang diklaim mengedepankan obyektivitas faktanya mendadak jadi manipulatif bila menyangkut pemberitaan tentang Israel.
Pada November 2023 lalu, misalnya, kantor koran New York Times --salah satu koran terbesar di AS-- didemo oleh para pekerja media dan mahasiswa jurnalisme.
Para demonstran mengecam New York Times yang dianggap sangat bias dan manipulatif memberitakan genosida di Gaza. Mereka tidak menyebutkan nama-nama korban tewas Palestina di Gaza. Berbeda kalau korbannya Israel.
Media tersebut juga tidak melaporkan pembunuhan jurnalis Palestina yang meliput langsung dari Gaza. Padahal per November 2023 itu, 36 jurnalis di Gaza tewas akibat serangan terarah (targeted attack), baik oleh rudal maupun penembak jitu.
Media AS Pro-Israel
Lalu pada Januari 2024, situs media The Intercept melakukan analisis terhadap 1.000 artikel tiga media besar di AS, yaitu New York Times, Washington Post, dan Los Angeles Times, dan menemukan pemberitaan ketiga media mainstream itu sangat pro-Israel, bahkan sampai "memelintir" fakta demi dukungan tersebut.
Yang terbaru, Al Jazeera lewat tayangan dokumenter berjudul Failing Gaza: Behind The Lens of Western Media, melaporkan bagaimana CNN (AS) dan BBC (Inggris) sangat bias pro-Israel berdasarkan wawancara dengan para jurnalisnya.
Salah satu jurnalis CNN bernama Adam (nama samaran), misalnya bercerita suatu kali Editor CNN, Nic Robertson, melakukan liputan bersama tentara Israel (embedded reporting) mengunjungi Rumah Sakit Anak al-Rantisi di Gaza yang dibom.
Begitu Robertson masuk, juru bicara militer, Daniel Hagari, mengaku telah menemukan bukti Hamas menggunakan rumah sakit tersebut untuk menyembunyikan tawanan Israel.
Hagari menunjukkan sebuah dokumen berbahasa Arab di dinding, yang katanya daftar giliran jaga Hamas dalam mengawasi para tawanan. “Ini adalah daftar penjagaan. Setiap teroris punya giliran kerjanya masing-masing,” kata Hagari pada Robertson.
CNN akhirnya melaporkan berita itu, termasuk daftar giliran jaga Hamas yang jadwalnya dipasang di dinding RS al-Rantisi. Adam mengatakan siaran itu merupakan “momen yang memalukan” bagi CNN.
“Itu sama sekali bukan daftar nama Hamas,” katanya. “Itu adalah kalender, dan yang ditulis dalam bahasa Arab itu adalah hari-hari dalam seminggu. Namun Nic Robertson menelan mentah-mentah klaim Israel.”
Tak Pedulikan Masukan dan Koreksi
Apakah tidak ada jurnalis CNN atau rekan seprofesi yang bisa berbahasa Arab? Tentu saja ada.
Adam menceritakan bahwa di grup internal Whatsapp para jurnalis yang juga dilihat Al Jazeera, ada seorang produser Palestina memberitahu bahwa itu kalender, bukan daftar giliran jaga Hamas seperti klaim Israel.
Nic Robertson juga diberitahu, tapi mengabaikan info tersebut. Berita soal daftar jaga itu akhirnya terbit di tayangan CNN.
Yang lebih buruk lagi, ketika tayangan itu hendak dinaikkan di situs online, produser lain berusaha merevisi bahwa itu adalah kalender. Pasalnya warganet sudah menertawakan klaim Israel soal kalender yang berubah menjadi daftar giliran jaga Hamas.
Tapi Robertson bersikeras dan berita itu akhirnya tetap naik di media online CNN seperti klaim Israel--bahwa itu daftar giliran jaga Hamas.
Dari perspektif jurnalisme, ini sebenarnya sudah pelanggaran sangat mendasar, yaitu mengesampingkan fakta.
"Sudah jelas di mana posisi kami sebenarnya [dalam pemberitaan Israel-Palestina], dan sayangnya kami tidak sepenuhnya berada pada kebenaran," kata Adam.
Dalam catatan TheStanceID, belakangan berita soal kalender menjadi "daftar giliran jaga Hamas" ini sempat menjadi konten tertawaan yang sangat populer di Tiktok. Para tiktoker AS berlomba-lomba membuat konten yang lebih absurd lagi untuk mengolok-olok Israel.
Misalnya, ada yang memperlihatkan baju gamis wanita bermotif (Abaya) yang sering dipakai di Timur Tengah, lalu dengan "serius" berusaha menunjukkan bahwa motif bergaris di Abaya itu bukan motif baju, melainkan "pesan rahasia Hamas".
Media Inggris Juga Sama
Fenomena di CNN juga terjadi di BBC, media yang berbasis di Inggris.
Seorang jurnalis BBC bernama Sara (nama samaran) bercerita kepada Al Jazeera bahwa stasiun TV tersebut menerapkan standar ganda dalam mewawancarai narasumber.
BBC menyaring ketat narasumber yang akan diwawancarai soal Palestina. Mereka akan menelusuri akun media sosialnya, misalnya menandai siapa-siapa yang pernah menggunakan kata-kata “Zionis”.
Mereka berusaha mencari narasumber Palestina yang tidak terlalu menyerang Israel. Sebaliknya untuk narasumber Israel, mereka diberi kebebasan penuh.
Misalnya, seorang narasumber Israel mengklaim Hamas "membakar bayi" dan "menembak bayi di kepala" dalam wawancara dengan BBC. Presenter BBC pun menerima saja klaim itu sebagai fakta, tidak mempertanyakan.
Kentalnya bias pro-Isael dalam pemberitaan media Barat ini yang akhirnya membuat mereka makin kehilangan kredibilitas dalam isu Israel-Palestina. Publik akhirnya lebih mengandalkan media sosial atau para influencer di lapangan.
Samuel Jena Jr merasa bersalah karena menjadi bagian dari manipulasi media Barat ini, dan akhirnya membakar diri.
Tapi sebenarnya itu tidak perlu. Dia bisa keluar dari tempat kerjanya dan mulai melaporkan secara lebih fair apa yang terjadi.
Seperti dilansir Aljazeera, selama setahun genosida Israel di Gaza, juga banyak jurnalis Barat yang mengundurkan diri dari media mereka karena tidak tahan oleh manipulasi pemberitaan tersebut. (est)