Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dinilai mengalami anomali. Depresiasi rupiah terhadap dolar AS sejak 22 September 2025 terjadi pada saat faktor fundamental perekonomian nasional dalam kondisi sangat baik.
Depresiasi ekstrim rupiah terhadap dolar AS yang mencapai titik terendah sejak awal Mei 2025 berdasarkan data Intercontinental Exchange (ICE) terekam pada perdagangan 25 September 2025, yaitu melemah ke Rp16.752 per dolar AS.
Anomali depresiasi ekstrim rupiah terhadap dolar AS dapat dijelaskan menggunakan konsep premi risiko, yang pertama kali diperkenalkan oleh dua ekonom AS, yaitu Harry Max Markowitz dari University of California, San Diego dan William Forsyth Sharpe, professor emeritus dari Standford University, AS, penerima hadiah Nobel Ekonomi tahun 1990.
Pada awalnya, konsep premi risiko digunakan dalam teori portofolio dan Capital Asset Pricing Model (CAPM) yang sangat populer pada tahun 1960-an. Konsep premi risiko kemudian digunakan secara luas dalam penentuan nilai tukar.
Premi risiko didefinisikan sebagai pendapatan tambahan yang diinginkan investor (pemilik modal) karena bersedia mengambil risiko dengan membeli aset keuangan suatu negara yang berisiko tinggi, ketimbang aset keuangan di negara berisiko rendah.
Secara umum, premi risiko dipengaruhi oleh selisih suku bunga antara dua negara (interest rate differential).
Dalam jangka panjang, premi risiko juga dipengaruhi exchange rate gap sebagai selisih antara nilai tukar mata uang suatu negara dalam jangka panjang, dengan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang negara lain saat ini.
Menentukan Daya Tarik Investasi
Premi risiko suatu negara sangat menentukan daya tarik investasi di negara bersangkutan, dan menentukan besarnya suku bunga di suatu negara. Premi risiko yang tinggi menyebabkan selisih suku bunga domestik dan internasional semakin tinggi.
Hal ini tercermin pada data country risk premium yang dipublikasikan New York University (NYU) pada Januari 2025, di mana country risk premium Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lain seperti Malaysia dan Singapura.
Akibatnya, depresiasi rupiah terhadap dolar AS merupakan yang tertinggi dibandingkan ringgit Malaysia dan dolar Singapura.
Kecenderungan ini sejalan dengan country risk premium Indonesia yang 2,54% lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (sebesar 1,66%) dan bahkan Singapura yang berstatus sebagai risk free country (negara bebas risiko).
Performa ringgit Malaysia dan dolar Singapura yang lebih baik dibandingkan rupiah Indonesia juga konsisten dengan peringkat Moody's yang menempatkan Indonesia pada peringkat investment grade level bawah, Baa2.
Peringkat ini lebih buruk dari Singapura (di peringkat Aaa) dan Malaysia (peringkat A3) yang berarti berisiko sangat rendah.
Premi risiko memegang rupiah yang tinggi juga dapat diamati pada World Uncertainty Index (WUI) Indonesia yang mengalami kenaikan ekstrim pada kuartal II/2025 mencapai 1,01.
Angka ini merupakan rekor tertinggi sejak WUI Indonesia pertama kali dipublikasikan oleh Federal Reserve Bank of St.Louis pada tahun 1952.
WUI Indonesia pada kuartal II/2025 naik dua kali lipat dibanding kuartal pertama 2025 yang hanya 0,51. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi Indonesia sedang berada pada titik paling tinggi dalam sejarah.
Sebagai gambaran, WUI Indonesia dalam 2 dekade terakhir hanya sekitar 0,3-0,8. Sejak pertama kali WUI Indonesia dihitung, Indonesia juga pernah memiliki angka WUI sangat tinggi, yaitu pada kuartal II/1953 sebesar 1,07 dan kuartal II/2012 (pada 0,87).
Premi Risiko Tinggi Tekan Rupiah
Tidak bisa dihindari, tingginya premi risiko membuat mata uang rupiah melemah menjadi Rp16.625/dolar AS pada 22 September 2025. Hingga 25 September 2025, nilai tukar rupiah terus melemah, yaitu menjadi Rp16.754/dolar AS.
Depresiasi ekstrim rupiah terhadap dolar AS sejalan dengan penguatan US dollar index, yaitu mengalami kenaikan dari titik terendah sebesar 96,452 pada 18 September 2025 ke titik tertinggi 98,564 pada 25 September 2025.
Selanjutnya, hingga 2 Oktober 2025 indeks dolar AS menurun menjadi 97,892, yang mencerminkan bahwa mata uang dolar AS melemah terhadap enam mata uang utama dunia.
Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah dan mata uang Asia lainnya kembali menguat (apresiasi).
US dollar Index dibangun dengan mengacu pada enam mata uang utama dunia, yaitu: Euro dengan bobot 57,6%, Yen Jepang (sebesar 13,6%), Pound Sterling Inggris (11,9%), Krona Swedia (4,2%), dan Franc Swiss (3,6%).
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa depresiasi ekstrim rupiah terhadap dolar AS tidak tercermin secara sempurna pada selisih suku bunga riil Indonesia dengan AS.
Atau dengan kata lain, interest rate differential tidak dapat menjelaskan perubahan nilai tukar rupiah per dolar AS.
Saat ini, selisih suku bunga riil domestik yang tercermin BI rate dikurangi inflasi dengan luar negeri, dalam hal ini suku bunga The Fed (AS) dikurangi inflasi AS masih sangat tinggi, yang mencerminkan premi risiko mata uang rupiah yang tinggi.
Kecenderungan yang sama juga terjadi dengan selisih antar nilai tukar rupiah per dolar AS dalam jangka panjang (forward rate) dengan nilai tukar rupiah per dolar AS saat ini (spot rate).
Selisih ini disebut juga dengan exchange rate gap atau forward premium. Semakin besar deviasi nilai tukar saat ini dengan nilai tukar jangka panjang, maka premi risiko semakin besar.
Baca Juga: Depresiasi Rupiah, Fundamental Ekonomi dan Sentimen Pasar
Secara konsep, premi risiko berkaitan dengan risiko depresiasi mata uang, risiko fluktuasi suku bunga, ketidakpastian ekonomi dan politik.
Sehingga, keberadaan country specific risk (risiko spesifik terhadap Indonesia) berupa ketidakpastian prospek ekonomi membuat investor meminta premi risiko lebih tinggi untuk memegang aset keuangan dalam rupiah.
Solusinya, merujuk pada John A. Carlson Krannet dari Purdue University, West Lafayette dan C. L. Osler dari Federal Reserve, New York, tahun 1999 dalam tulisan “Determinant of Currency Risk Premium” menunjukkan pentingnya intervensi kebijakan makro dan mikro prudensial untuk mengurangi premi risiko.
Terkait depresiasi rupiah terhadap dolar AS pada 22 September 2025, pemerintah dan bank sentral dituntut mengurangi risiko bersifat spesifik, melalui komunikasi kebijakan yang lebih teknokratik rasional dibanding retoris populis sejalan dengan prinsip ekonomi yang mengutamakan kehati-hatian.
Pemerintah harus mampu meyakinkan pelaku pasar dengan kebijakan moneter dan fiskal yang pruden. Memberikan outlook positif terhadap perekonomian nasional.
Plus, menghindari kesan dominasi atau intervensi otoritas fiskal terhadap otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) dalam formulasi kebijakan makro ekonomi nasional.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.