Senin, 21 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Perang Mobil Listrik Uni Eropa versus China, Indonesia Dapat Apa?

Jangan sampai China hanya mengubah rute pengapalan EV dari Eropa ke Indonesia, tanpa membangun basis produksi di sini.

By
in Big Shift on
Perang Mobil Listrik Uni Eropa versus China, Indonesia Dapat Apa?
Ilustrasi perang EV antara China dan Uni Eropa (Sumber: Sputnik)

Jakarta, TheStanceID - Uni Eropa menabuh genderang perang mobil listrik (electric vehicle/EV) asal Tiongkok dengan mendongkrak bea masuknya hingga tiga kali lipat pada Jumat (4/10/2024). Indonesia berisiko jadi “ladang pembantaian” EV pabrikan lokal.

China dituding berlaku curang dengan menyubsidi industri EV mereka secara besar-besaran, sehingga mengancam bisnis UE. Melalui voting, UE mengenakan tarif bea masuk sebesar 45% buat EV China, melonjak dari tarif normal sebesar 10%.

Voting diikuti 27 negara anggotanya pada Jumat (4/10/2024). Reuters melaporkan 10 negara Uni Eropa mendukung, lima menolak dan sisanya abstain.

Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pertemuan dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz, di Berlin, menegaskan angka subsidi pemerintah China ke industri EV mereka sudah “tidak dapat ditoleransi.”

"Secara umum, kita harus melindungi level playing field yang setara di semua sektor industri kita," katanya dilansir Reuters pada Rabu (2/10/2024).

Senada, Scholz menuding kebijakan China itu berpotensi merusak ekonomi kawasan. “Kita harus melindungi ekonomi kita dari praktik perdagangan yang tidak adil," katanya di Asosiasi Federal Jerman untuk Grosir, Perdagangan Luar Negeri, dan Jasa, dilansir Lemonde.

Keduanya mengekor Amerika Serikat (AS).

Sebelumnya Presiden AS Joe Biden sudah lebih dulu menyorot akselerasi bisnis EV China. Laporan Fact Sheet Gedung Putih AS yang dirilis 14 Mei 2024, mengungkapkan China membanjiri pasar global dengan produk EV berharga murah.

Guna melawan itu, Biden menaikkan tarif bea masuk produk EV asal Tiongkok menjadi 100% di 2024 dari sebelumnya hanya 25%. Fakta ini mencerminkan tekad bulat Biden untuk mencegah warganya membeli produk EV China.

Bahkan Donald Trump, lawan Biden di Pemilihan Presiden (pilpres) AS, sepakat dengan sikap anti-EV asal China. Trump memiliki rekam jejak kuat dalam “perang dagang” melawan China tatkala menjadi Presiden AS periode 2017-2021.

Kebijakan Hipokrit

Sepak terjang Negeri Mao Zedong itu sebenarnya praktik yang biasa terjadi. Subsidi EV juga diberlakukan di banyak negara Barat, sehingga keputusan Jumat lalu itu menjadi terdengar hipokrit.

Sejak Juni 2024, pemerintah China disebut merilis paket insentif EV bernilai total US$72 miliar (Rp1.116 triliun) yang berlaku hingga 2028. Di sana, mobil EV yang dibeli tahun 2024-2025 bakal bebas pajak penjualan (PPN) senilai maksimum 30.000 yuan (setara Rp65 juta).

Namun, AS juga memberlakukan kebijakan yang sama, dengan diskon pajak EV yang bahkan lebih tinggi dibandingkan yang berlaku di China, yakni mencapai US$7.500 atau setara Rp116 juta per kendaraan, sesuai negara bagian.

Secara total, lembaga non-profit asal London, Dialogue Earth, menilai lebih dari 200 miliar yuan atau US$28 miliar (sekitar Rp434 triliun) dihabiskan untuk subsidi EV dan diskon pajak di China selama periode 2009-2022.

Hasilnya, pada tahun 2022, China berhasil menjual lebih dari 6 juta EV, yang mencakup setengah dari seluruh penjualan secara global.

Murah Betul, Canggih Benar

Harga mobil China laris bukan karena sekadar murah. Contoh, mobil hatchback kecil seukuran Mini Cooper, yakni Seagull, begitu menarik. Mobil buatan pabrikan China, BYD, dilengkapi teknologi pengisian daya cepat dengan jarak tempuh hingga 400 km.

BYD mengklaim mobil mereka mampu mengisi daya dari level daya 30% menjadi 80% dalam waktu setengah jam, cukup dengan colokan arus searah (direct current/DC)—colokan yang serupa dengan pengisi daya mobil mainan.

Meski bukan mobil mewah, tapi Seagull dilengkapi dengan jok pengemudi elektrik dan cruise control (fitur pengemudi untuk mengatur kecepatan kendaraan otomatis).

“Jika saya mencari mobil yang murah, mobil ini [Seagull] sempurna," kata jurnalis mobil kawakan John McElroy setelah mencobanya, dikutip The Vox.

Model standar Seagull dipatok seharga US$10.700 di Tiongkok atau setara dengan Rp166 juta. Harga itu, menurut The Vox, sepertiganya dari biaya EV termurah yang dapat dibeli di AS.

Di Amerika Selatan, harga mobil ini sedikit lebih mahal, tetapi masih cukup terjangkau, di bawah US$24.000 atau sekitar Rp372 juta untuk versi teratas. Bahkan di Eropa, pembeli bisa mendapatkan BYD level entry dengan harga di bawah €30.000 atau sekitar Rp516 juta.

Di Indonesia, mobil EV murah ini belum masuk. Ketika masuk ke Tanah Air, BYD hanya membawa tiga model andalannya, yakni Seal, Dolphin, dan Atto 3, pada saat gelaran Indonesia International Motor Show (IIMS) pada Februari 2024 lalu.

Uni Eropa Belum Kompak

Sebenarnya, tidak semua negara Uni Eropa setuju menganggap EV dari China sebagai ancaman yang harus diatasi dengan tarif yang ditentukan melalui voting.

Jerman, negara dengan ekonomi terbesar di Eropa Barat tidak terlalu sreg dengan keputusan itu, karena jika China memutuskan membalas, maka pabrikan mobil Jerman akan terpukul.

Maklum saja, China adalah pasar besar bagi Volkswagen dan BMW. Keduanya menjual 4,6 juta mobil di China pada 2022. Dilansir TopSpeed, pasar China juga menyumbang 36% dari total penjualan Mercedes-Benz.

Pada Mei lalu, CEO BMW Oliver Zipse menegaskan kenaikan tarif EV China lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya karena merugikan produsen mobil lama yang aktif di China. "[Ini ibaratnya] menembak kaki Anda sendiri," katanya melalui keterangan resmi BMWblog.

Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner juga mengatakan bahwa perang dagang dengan China akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan bagi industri utama Eropa dan sektor krusial di Jerman.

Beijing sejauh ini mengisyaratkan akan membalas dengan tarif untuk kendaraan Jerman dan Italia serta produk pertanian Eropa seperti susu, daging babi, dan brendi (anggur) Prancis.

Indonesia Bagaimana?

Indonesia saat ini masih menjadi pasar terbesar Asia Tenggara untuk EV. Meski sudah dirintis sejak tahun 2019, Indonesia belum memiliki pabrikan EV lokal yang kuat dan pasarnya sudah dikuasai oleh pabrikan China.

Regulasi terkait EV sudah disiapkan sejak 2019 di antaranya Perpres 55 Tahun 2019, disusul peraturan pajak, infrastruktur, hingga proses konversinya, melalui PP 73 Tahun 2019 (diubah ke PP 74), Permen ESDM 13 Tahun 2020, Permen Perhubungan 45 Tahun 2020, Permendagri 8 Tahun 2020, Permenperin 6 Tahun 2022, dan Permen Perhubungan 15 Tahun 2022.

Penjualan EV di Tanah Air pun meningkat. Menurut catatan Gaikindo, penjualan wholesales (pabrik ke diler) EV nasional tembus 23.045 unit pada Januari-Agustus 2024, melesat 177% secara tahunan (year on year/YOY) dari 2023 yang hanya 8.310 unit.

Mobil listrik menyumbang 4,1% terhadap total penjualan mobil nasional yang mencapai 560.619 unit hingga Agustus 2024. Penguasanya adalah pabrikan China di antaranya Wuling, DFSK (Seres), Chery, Great Wall Motor (GWM), Neta, BYD hingga Morris Garages (MG).

Jika perang dagang berlarut, maka China akan memutar jalur ekspor EV-nya dari Uni Eropa ke Asia Tenggara di mana Indonesia menjadi pasar terbesarnya. Produk EV mereka yang murah dan canggih itu akan kian tak terbendung.

“Alih-alih berfokus pada Eropa dan AS, mereka kemungkinan akan lebih fokus pada konsumen di China dan di Asia Tenggara dan lainnya,” tutur analis geopolitik Thomas W. Pauken II seperti dikutip Sputnik.

Oleh karena itu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin menegaskan perlunya kesiapan agar Indonesia tak hanya jadi pasar, dengan potensi yang ada.

“Saat ini kita dihadapkan dengan golden opportunity untuk menjadi mitra global perusahaan EV terkemuka untuk menjadi pusat manufaktur EV kelas dunia,“ kata Rachmat, dalam keterangan resmi.

Namun, dia mengingatkan bahwa peluang emas tersebut bisa hilang karena negara-negara lain juga menyebarkan karpet merah untuk menarik pabrikan besar EV.

“Jika gagal, kita hanya menjadi pasar saja dan bukan produsen. Jangan sampai industri jutaan lapangan kerja dari industri otomotif Indonesia terancam karena kita terlambat melakukan transformasi industri,” tegas mantan CEO Bukalapak ini.

Harap dicatat, sektor otomotif turut menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, dengan menampung sekitar 1,5 juta pekerja dan berkontribusi 4% terhadap perekonomian nasional. Nilai ekspor industri otomotif Indonesia mencapai Rp70 triliun di 2022.

Di tengah perang EV Eropa-China, pemerintah harus bisa mengubah risiko menjadi peluang. Jangan sampai pabrikan China hanya membelokkan rute pengapalan produk EV dari Eropa ke Indonesia, tanpa membangun basis produksi di Bumi Pertiwi. (mts)

\