oleh Fathorrahman Fadli, Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) yang sehari-hari mendedikasikan diri dalam dunia pendidikan dengan menjadi Dosen Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pamulang.

Jam menuju pukul 00.10 Waktu Indonesia Kampung Dukuh. Saya baru saja terbangun, perut rasanya butuh perhatian khusus.

Seperti biasa, sasarannya adalah warung bebek Madura Cak Dulla--samping Indomart dekat rumah. Bebeknya empuk, warnanya coklat tua rada hitam. Sambelnya banyak disukai pembeli.

Malam-malam seperti ini, orang-orang yang kelaparan seperti saya biasanya antre disitu. Saya ambil motor, buka pagar dan tancap gas menuju TKP (Tempat Kejadian Permakanan).

"Kek, makan ya..." pinta saya.

Dulla sudah tahu selera saya kalau datang malam-malam begitu. Indomart sebelahnya sudah tutup. Pegawainya pasti sudah tidur ngorok di rumah. Sementara Dulla, masih seperti biasa, menunggu dan berharap datang pembeli.

Saya merasa butuh rokok, saya tinggalkan Dulla untuk menuju warung Madura yang letaknya beberapa meter dari Indomart yang sudah tutup itu.

Semakin malam warung Madura semakin dibutuhkan masyarakat. Di sinilah etos kerja Madura itu luar biasa. Orang tidur, mereka bekerja. Orang lagi malas, mereka justru semakin giat cari rezeki.

Di warung Madura itu saya beli sebungkus rokok Sampoerna kretek kesayangan saya. Keluar rumah saya bawa uang satu lembar saja, Rp50 ribu.

Saya rasa cukup buat makan nasi bebeknya Dulla yang cuma Rp20 rb saja. Rokok Sampoerna Rp.17.000. Lalu saya beli juga kerupuk 2 bungkus harganya Rp5 ribu. Kalau dua bungkus Rp10 rb. Jadi sisanya cuma Rp3 ribu.

Kisah Manajemen Kangkung

ChartPerut sudah kenyang. Waktunya pulang. Tapi saat mau pulang diajak ngobrol sama Dulla. "Nasinya masih banyak Kak, banyak orang beli bebeknya saja," keluh Dulla.

"Mak bisah De'iyeh Lek?" tanya saya.

"Yeh dinah la, mungkin saya pulang agak pagi.. jam 2 atau jam 3," cetus Dulla pasrah.

Tiba-tiba datang pembeli lain. Kayaknya dia habis pulang kerja atau sopir Grabcar yang kelaparan juga. Secepat kilat dia berucap. "Kangkung dan telor bertruk-truk diturunkan di pasar Ciputat, namun kok cepat habis ya," gumam pembeli tadi.

Saya semula hanya diam sambil memperhatikan maksud orang itu. "Saya suka makan kangkung Pak, tapi kalau kebanyakan saya takut asam urat," keluhnya agak heran.

Untuk berakrab ria, saya samber saja omongan tak begitu penting itu sambil berucap,"Yang mau makan kangkung banyak kali Pak."

Saya layani pelan-pelan laki-laki itu sekenanya saja. Namun saya akhirnya berfikir bahwa keheranan kenapa kangkung yang ber-truk-truk banyaknya itu ada aspek pelajaran manajemennya.

Coba kalau tidak ada sentuhan manajemennya, mana bisa sayur kangkung bertruk-truk itu cepat habis? Siapa yang makan? Apalagi di pasar Ciputat itu sayuran apa saja ada dan stoknya melimpah.

Jika tidak ada manajemen yang bekerja, pastilah amburadul. Ya busuklah, ya menumpuklah, dan akibat buruk lainnya. Bisnis sayur mayur itu sebenarnya bisnis yang bagus prospeknya.

Kaum Pekerja Keras Taat Pajak

reklame bayar pajak

Di samping untungnya lumayan, sayur mayur adalah kebutuhan pokok masyarakat. Memang para pedagang itu harus kerja keras demi keuntungan untuk bertahan hidup. Mereka sudah datang sejak pukul 10 malam hingga pagi hari jelang subuh tiba.

Saya sendiri dan istri, terkadang keluar rumah jam 3 pagi untuk belanja sayur dan lauk pauk di pasar yang tata kelolanya belum begitu serius itu.

Kata istri, di Pasar Ciputat pilihannya banyak tinimbang di Pasar Bukit dekat komplek saya tinggal. Harganya pun tentu lebih murah.

Saya kadang sambil belanja berfikir, "hebat sekali para pedagang itu. Mereka membanting tulang demi menghidupi anak-anak dan istrinya. Mereka peras keringat untuk mempertahankan laju kehidupan masing masing."

Mereka tak peduli dengan pemimpin, para elit politik, apalagi lembaga survei yang jualan angka-angka palsu itu. Siapa bilang mereka malas. Siapa bilang bangsa kita tidak giat bekerja. Siapa bilang bangsa kita tidak terampil.

Terkadang saya kesal melihat elit politik itu; moncong mulutnya suka tak berdasar. Mereka hanya pandai memainkan kata-kata kosong. Semua omongannya nyaris hanya untuk memperkaya diri sendiri saja.

Di masa pemerintahan Jokowi, rakyat kecil hanya dijadikan sapi perah. Padahal, di dalam ketidakberdayaan itu, mereka merupakan pembayar pajak yang aktif dan taat.

Bagaimana tidak. Coba kita pikir, saat mereka beli gula, gulanya sudah kena pajak. Saat beli tepung untuk buat pisang, tepungnya kena pajak. Saat beli minyak goreng untuk masak lauk pauk, minyaknya kena pajak.

Saat mau cuci baju, Rinsonya kena pajak. Saat mau beli daging, dagingnya kena pajak. Saat beli bawang, si bawang kena pajak. Pokoknya semua hajat hidup rakyat kecil itu kena pajak.

Dan dalam manajemen pemasaran maupun produksi, semua pajak itu dibebankan selalu pada pembeli. Tak peduli pembeli itu kaya atau miskin. Rasa-rasanya, hidup di negeri ini semua dalam tekanan pajak.

Baca Juga: Prabowo, di Antara Iminicus dan Hostis

Tapi apa hasil dari pajak-pajak yang dikumpulkan pemerintah itu? Hingga detik ini tak pernah transparan. Rakyat tidak pernah tahu atau diberi tahu berapa jumlah total jenderal penerimaan negara dari pajak rakyat yang semakin mencekik leher itu?

Yang terdengar hanya pemecatan Dirjen Pajak, atau bahkan korupsi di sekitar pajak.

Dalam soal pajak ini, saya banyak sekali cerita tentang orang-orang pajak. Mereka rata-rata hidup mewah bergelimang harta. Saya tidak tahu batin mereka damai atau malah gundah.

Namun dari sekian pergaulan saya dengan orang-orang yang hidup di sekitar sektor perpajakan itu sungguh mengerikan sekali. Rata-rata mereka punya rumah lebih dari dua. Jangan kaget jika tabungan mereka jadi gendut tiba-tiba.

Lagi-lagi saya bertanya, apa iya mereka jujur, apa iya batin mereka merasa damai? Ternyata tidak!!***

Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.