Meski Marak Kasus, Badan Gizi Klaim Tingkat Keracunan MBG Hanya 0,5%

Program MBG dijalankan secara terburu-buru demi mengejar janji politik. Pengamat khawatir kasus keracunan yang selama ini diangkat di media, hanya sebagian kecil dari yang sesungguhnya terjadi.

By
in Headline on
Meski Marak Kasus, Badan Gizi Klaim Tingkat Keracunan MBG Hanya 0,5%
Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah

Jakarta, TheStanceID - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sampai akhir Maret 2025 diklaim telah menjangkau 3 juta penerima manfaat di 38 provinsi di Indonesia.

Sebanyak 3 juta orang termasuk balita, anak sekolah, serta ibu hamil dan menyusui itu dilayani oleh 1.009 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Badan Gizi Nasional (BGN) pun menargetkan pada April 2025 jumlah penerima manfaat MBG bertambah menjadi 4,59 juta orang dan diproyeksikan kembali naik hingga menyentuh 6 juta di akhir Agustus, dan menjadi 15 juta-17,5 juta di akhir Desember.

Namun, ditengah usaha memperluas cakupan program MBG, pemerintah diminta melakukan evaluasi besar-besaran, menyusul terjadinya sejumlah kejadian anak-anak sekolah yang keracunan setelah menyantap menu MBG.

Rentetan Kejadian Keracunan di Program MBG

Dikutip dari berbagai sumber, TheStanceID menghimpun daftar kejadian sekolah yang mengalami insiden keracunan massal sejak program MBG diluncurkan pada 6 Januari 2025.

1. Cianjur

Sebanyak 78 siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur mengalami gejala keracunan makanan. Akibat perisitiwa tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) karena jumlah korban yang tinggi.

Keracunan massal di Cianjur disebabkan tempat makanan atau food tray MBG yang masih menggunakan bahan dasar plastik. Dari hasil pengujian laboratorium diketahui beberapa jenis bakteri Staphylococcus sp, Escherichia coli atau E. coli, Salmonela sp ditemukan dalam sampel wadah hidangan MBG.

2. Nunukan Selatan, Kalimantan Utara

Pada 13 Januari 2025, sedikitnya 29 murid SD dan lebih dari 30 siswa SMA di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara, diduga keracunan makanan dari program MBG. Para murid SD dan SMA itu disebut mengalami mual dan diare setelah menyantap ayam kecap basi yang dimasak dapur yang sama.

3. Sukoharjo, Jawa Tengah

Pada 16 Januari, setidaknya 40 siswa SD di Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami pusing, mual, lalu muntah-muntah setelah melahap MBG dengan menu nasi, tumis wortel dan tahu, ayam goreng tepung, buah, dan susu. Puskesmas Sukoharjo sempat menyatakan ayam goreng yang disajikan tidak dimasak dengan sempurna, sehingga hasilnya kurang matang.

4. Semarang, Jawa Tengah

Pada 4 Februari, seorang siswa SMA di Semarang, Jawa Tengah, sempat pusing, muntah-muntah, dan demam setelah memakan "mendoan basi" yang disajikan di kotak makan MBG.

Diah, kakak dari siswa tersebut mengatakan adiknya segera dibawa ke puskesmas terdekat dan dirawat di sana. Biaya pengobatannya ditanggung Pemerintah Kota Semarang.

Usai kejadian, pihak sekolah adiknya juga mewanti-wanti, segala kritik atau saran dapat disampaikan langsung ke pengelola program MBG dan "tidak boleh disebarluaskan untuk publik".

5. Empat Lawang, Sumatera Selatan

Pada 18 Februari, delapan murid SD di Empat Lawang, Sumatra Selatan, mengalami pusing, sakit perut, lalu muntah-muntah usai memakan menu MBG yang diduga basi dan berulat.

6. Kota Waingapu, Sumba Timur

Pada 18 Februari, setidaknya 15 anak SD di Kota Waingapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, diduga keracunan setelah menyantap menu MBG yang terdiri dari nasi, mi goreng, tahu, tempe goreng, telur, serta pisang.

Mereka disebut mengalami sejumlah gejala, dari pusing hingga sakit perut, mual, dan muntah-muntah. Salah satu siswa bahkan disebut memerlukan bantuan oksigen karena sesak napas.

7. Kota Kupang, Nusa tenggara Barat

Pada 24 Februari, guru-guru di sebuah SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, juga menemukan lauk dan sayur basi di sejumlah kotak makan MBG.

Program MBG telah berjalan seminggu di SD itu dan setiap hari ada saja makanan yang telah basi. Sejumlah anak sempat sakit perut dan muntah-muntah setelah menyantap MBG dalam seminggu pertama pelaksanaannya di sana.

8. Batang, Jawa Tengah

Pada 18 April, sebanyak 60 siswa SDN Proyonanggan 5 Batang mengalami mual dan sakit perut setelah mengonsumsi makanan program MBG. Guru SDN Proyonanggan 5 Batang, Rizkika Wakhid Widilaksa, mengatakan gejala keracunan dialami siswa setelah mereka pulang ke rumah.

9. Pandeglang, Jawa Barat

Pada 16 Januari 2025, Sebanyak 40 siswa di SD N Alaswangi 2, Pandeglang, Jawa Barat juga mengalami keracunan massal usai mengkonsumsi menu MBG. Bahkan, terdapat seorang siswa yang harus mendapat penanganan medis di Puskesmas.

Kasus Keracunan Makanan Masih 0,5 Persen

Dadan Hindayana - BGN

Menanggapi banyaknya kasus dugaan keracunan karena MBG ini, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan dapur-dapur MBG belum terbiasa memberikan pelayanan dalam jumlah besar.

"Perlu pembiasaan terlebih dahulu untuk melayani dalam jumlah banyak," kata Dadan.

"Dari pengalaman yang pintar masak untuk empat orang, butuh waktu sampai tiga bulan sampai terbiasa memasak untuk jumlah besar, baik dalam kematangan maupun rasa." tambahnya.

Dadan mengeklaim, program makan bergizi gratis (MBG) terus dievaluasi untuk perbaikan program MBG kedepannya.

Menurut Dadan, evaluasi program andalan pemerintah itu berjalan baik dengan data menunjukkan kejadian keracunan berada di angka 0,5 persen.

“Secara umum tentu baik ya (evaluasi MBG), Kasus kejadian secara kuantitatif masih 0,5 persen,” katanya.

Dadan pun menargetkan angka kejadian tersebut dapat ditekan hingga nol lewat evaluasi yang dilakukan oleh BGN, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), dapur MBG, dan pihak-pihak terkait.

Selain evaluasi, langkah lain yang diupayakan BGN untuk menekan kejadian keracunan adalah mengintensifkan pelatihan dan penyegaran penjamah makanan.

“Ini dilakukan agar bisa meningkatkan kualitas pelayanannya,” kata Dadan.

Dalam hitungan hitungan TheStanceID, dengan jumlah siswa penerima layanan MBG yang telah mencapai 3 juta siswa, maka tingkat keracunan 0,5% itu setara dengan 15.000 siswa.

Pelaksanaan MBG Terburu-buru dan Harus Dievaluasi

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menegaskan harus ada evaluasi besar-besaran dalam pelaksanaan program MBG, yang menurutnya selama ini dijalankan secara "terburu-buru demi mengejar janji politik".

Menurutnya, kasus dugaan keracunan yang selama ini diangkat di media, bisa jadi hanya sebagian kecil dari apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

"Yang saya takutkan nanti ada korban jiwa," kata Agus.

Untuk itu, ketimbang memaksakan agar MBG berjalan dengan skala nasional, pemerintah lebih baik menjalankan MBG dengan skala kecil terlebih dahulu, sebelum pelan-pelan memperbesar cakupannya.

Senada, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah menilai seharusnya pemerintah fokus menjalankan MBG untuk masyarakat miskin terlebih dahulu, utamanya yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Setelahnya, barulah pemerintah bisa menyasar kelompok masyarakat lain.

Tujuannya, selain lebih efisien dari segi anggaran, sisi pengawasan kualitas menu MBG juga bisa lebih diperhatikan sehingga kasus keracunan tidak lagi ditemukan.

"Sekarang menurut saya, dipindah saja pengelolaannya itu ke sekolah-sekolah, kantin-kantin di sekolah. Jangan lagi pakai jasa katering," kata Trubus.

ICW Sarankan Program MBG Rangkul Kantin Sekolah

ICW - MBG

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) belum mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem sekolah. Salah satu yang disoroti adalah terpuruknya pendapatan kantin sekolah.

Staf Divisi Riset ICW, Eva Nurcahyani, menilai kehadiran MBG telah menggeser peran kantin tanpa ada upaya pelibatan sebelumnya.

Temuan tersebut berdasarkan hasil pemantauan langsung ICW di beberapa titik lokasi pelaksanaan MBG pada sekolah-sekolah di Jakarta sejak 12 Maret-24 April 2025.

"Implementasi MBG ini tidak secara detail melihat bagaimana ekosistem sekolah yang sudah ada sebelum ada MBG, itu tidak diperhatikan. Harusnya kan ada kerja sama paling tidak atau merangkul kantin-kantin yang memang sudah bersama di situ, di sekolah tersebut," kata Eva dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025).

Belum lagi, program MBG juga dinilai menambah beban baru bagi para guru yang terlibat dalam proses distribusi dan pengawasan makanan. Kondisi ini disebut turut mengganggu konsentrasi pembelajaran.

Masalah lain juga muncul terkait aksesibilitas dan inklusivitas di sekolah luar biasa (SLB), seperti yang terjadi di SLBN Jakarta, salah satu sekolah pertama yang menerapkan MBG.

Baca juga: MBG Penting, tapi Memberdayakan Masyarakat Jauh Lebih Bermakna

Eva mengungkapkan bahwa menu makanan yang disediakan disamaratakan tanpa memperhatikan kebutuhan gizi khusus bagi siswa dengan disabilitas.

“Padahal kita ketahui bahwa kebutuhan-kebutuhan gizi untuk teman-teman dengan disabilitas mental dan fisik dan sebagainya itu kita harus perhatikan. Secara komposisi gizi, kemudian secara kebutuhan individu satu dengan individu lain itu berbeda," tutur dia.

Untuk itu, ICW mendesak pemerintah untuk mengevaluasi desain pelaksanaan MBG agar lebih adaptif terhadap realitas sekolah dan kebutuhan siswa yang beragam, serta memastikan bahwa kebijakan ini mendukung, bukan merusak, ekosistem pendidikan. (est)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\