Semarang, TheStanceID - Konflik bersenjata meletus di perbatasan Thailand dan Kamboja. Setidaknya 12 orang tewas dari pihak Thailand dan puluhan lainnya diperkirakan kehilangan nyawa dari pihak Kamboja. Ada kuil suci dan "dosa Prancis" di sana.
Menteri Kesehatan Thailand Somsak Thepsuthin melaporkan 12 orang tersebut termasuk 11 warga sipil dan satu personel militer. Setidaknya 24 warga sipil dan 7 personel militer mengalami luka-luka.
Sementara itu, dari pihak Kamboja belum merilis pernyataan resmi perihal jumlah korban jatuh akibat sengketa ini.
“Pertempuran ini benar-benar serius. Kami sedang dalam proses evakuasi,” ucap Sutian Phiwcan, warga lokal di distrik Ban Dan, Provinsi Buriram, Thailand.
Akibat ketegangan ini, kedua pihak meminta warga di sekitar perbatasan untuk meninggalkan wilayah sengketa tersebut. Pemerintah Thailand telah mengevakuasi 40.000 warga sipil ke lokasi yang lebih aman.
Pemicu ketegangan kedua negara di kawasan Indochina itu masih menjadi polemik. Baik Thailand maupun Kamboja saling tuduh pihak lain sebagai pemancing konflik.
Menurut laporan BBC, Thailand menuduh Kamboja menurunkan senjata berat, termasuk kendaraan peluncur roket BM-21 dan artileri yang menyebabkan kerusakan rumah dan fasilitas umum di sepanjang sisi perbatasan Thailand.
Thailand merespons dengan mengirim jet tempur F-16 untuk mengebom target. Menurut militer Thailand, pasukan mereka melepaskan tembakan setelah berhadapan dengan sekelompok tentara Kamboja bersenjata lengkap di perbatasan.
“Kami telah menggunakan kekuatan udara terhadap sasaran militer sesuai rencana,” ungkap Richa Suksuwanon, juru bicara Wakil Angkatan Darat Thailand.
Kuil di Pusat Konflik & Ulah Prancis
Di sisi lain, Kamboja mengeklaim Thailand melanggar perjanjian wilayah dengan mengerahkan pasukannya ke kuil Preah Vihear di area perbatasan, yang dibangun kekaisaran Khmer--salah satu peradaban terbesar di Asia Tenggara (era 802-1431 M).
Mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen juga menyatakan dua provinsi di Kamboja menjadi sasaran tembakan artileri militer Thailand. Menurut laporan The Phnom Penh Post, serangan ini menyebabkan kuil kuno HIndu tersebut rusak parah.
“Serangan tersebut yang melibatkan tembakan artileri dan bombardir udara, telah menyebabkan kerusakan parah pada situs suci yang memiliki makna budaya, sejarah, dan spiritual yang sangat besar bagi rakyat Kamboja” kata Kementerian Kebudayaan dan Seni Rupa melalui pernyataan resminya.
Terletak di perbatasan Kamboja-Thailand, kuil unik tersebut menjadi pangkal perselisihan dua negara modern yang semula bersatu di bawah kekaisaran Khmer tersebut.
Pada tahun 1904, Siam (sekarang Thailand) dan Kamboja yang dikuasai pemerintah kolonial Prancis sepakat menentukan perbatasan mereka dengan mengacu pada Pegunungan Dangrek sebagai batas alami.
Konsekuensinya, kuil terhitung masuk wilayah Siam. Namun pada tahun 1907, Prancis dengan mentalitas kolonialisme secara sepihak merilis peta perbatasan yang menempatkan kuil tersebut di wilayah Kamboja.
Karena wilayah tersebut secara de facto dikuasai Prancis, Thailand selama beberapa dekade tak pernah mengajukan keberatan secara resmi atas peta yang dibawa Prancis ke dunia internasional tersebut.
Baca Juga: Keanekaragaman Hayati Harga Mati
Thailand mengaku baru ngeh mengenai keberadaan peta tersebut tahun 1930-an. Namun mereka tidak mengajukan keberatan resmi, yang dalam hubungan internasional dianggap sebagai persetujuan.
Setelah Prancis mundur pada tahun 1953, Thailand pun mengambil alih pengelolaan situs suci tersebut yang direspons Kamboja dengan membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada tahun 1959.
Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional memutuskan mendukung Kamboja, karena protes Thailand yang dilakukan dalam diam selama puluhan tahun dianggap sebagai persetujuan. Kuil pun menjadi milik Kamboja, dan kebencian Thailand belum sirna.
Perselisihan itu menyala pada tahun 2008 setelah Kamboja mengajukan status Situs Warisan Dunia UNESCO untuk kuil tersebut. Pertikaian perbatasan sporadis mengikuti, yang meningkat menjadi konflik bersenjata antara tahun 2008 dan 2011.
Keruhnya Hubungan Diplomatik Thailand-Kamboja
Imbas dari konflik ini, Thailand menutup perbatasannya dengan Kamboja. Sementara itu, pihak Kamboja menurunkan status hubungan diplomatiknya dengan Thailand serta menarik duta besar Kamboja dari Bangkok.
Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menyerukan warga mereka di Thailand untuk menghindari segala bentuk konflik dan diskriminasi.
Lewat unggahannya di laman Facebook, Manet memohon agar warga Kamboja yang tinggal di Thailand tetap menjaga martabatnya di tengah situasi konflik.
“Meskipun saat ini terjadi pertempuran antara tentara Kamboja dan Thailand di perbatasan, saya menyerukan kepada semua warga Kamboja untuk menjaga moral dan martabat mereka, serta menghindari diskriminasi atau tindakan apapun yang dapat memengaruhi Kedutaan Besar Thailand di Kamboja, perusahaan Thailand, dan warga Thailand di Kamboja,” kata Manet.
Ia juga menghimbau warga Kamboja yang tinggal di Thailand segera menghubungi Kantor Kedutaan Besar Kamboja untuk bantuan pemulangan apabila mengalami tekanan akibat ketegangan kedua negara.
Ketegangan pada bulan Juli ini menjadi yang terburuk dalam hubungan antara Thailand dan Kamboja, menyusul insiden Mei lalu ketika personel militer Kamboja tewas dalam bentrokan di wilayah perbatasan.
Sejak itu, kedua negara menguatkan basis pertahanan mereka dan membatasi penyeberangan darat yang memengaruhi jalur perdagangan.
Kamboja menerapkan larangan impor terhadap komoditas dari Thailand, seperti buah-buahan, sayuran, serta layanan listrik dan internet.
Dugaan Politik Personal di Balik Konflik
Di balik ketegangan antara Thailand dengan Kamboja, juga disinyalir merupakan konflik politik pribadi lingkaran pemerintahan kedua negara tersebut.
Menurut laporan The Telegraph, mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra memiliki hubungan pribadi yang dekat dengan Hun Sen, ayah dari Hun Manet.
Thaksin merasa dikhianati oleh tindakan Hun Sen yang membocorkan percakapan pribadi Paetongtarn Shinawatra yang mengritik militer Thailand sendiri. Insiden ini menyebabkan putrinya, Paetongtarn, diberhentikan dari posisi perdana menteri.
Perdana Menteri Kamboja Hun Manet telah melayangkan surat resmi kepada Dewan keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera menggelar “rapat darurat” demi menghentikan agresi militer Thailand.
Dalam suratnya, ia menyatakan Thailand melanggar prinsip non-agresi dan penyelesaian damai dalam hukum internasional. Manet juga menyerukan Thailand agar segera menghentikan semua serangan serta menarik militernya dari tindakan provokatif.
Buntut dari konflik ini, Hun Manet memerintahkan warga Kamboja mengikuti wajib militer sebagai respons meningkatnya ketegangan dengan Thailand.
Sebagai informasi, Undang-Undang wajib militer Kamboja sudah ada sejak tahun 2006, tetapi belum diterapkan. Dikutip dari The Guardian, wajib militer tersebut mewajibkan warga negara berusia 18 hingga 30 tahun.
Sementara itu, Thailand melalui Perdana Menteri sementara Phumtham Wechayachai menyerukan agar konflik di perbatasan segera dihentikan agar proses negosiasi yang bersifat diplomatis dapat dilakukan.
Ia menekankan tidak ada deklarasi perang dan berharap konflik tidak menyebar ke provinsi lain. (mhf)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.