Kelabu Film JESEDEF Ciptakan Warna Baru di Industri Film Nasional
Rilis akhir November 2023, JESEDEF panen penghargaan di FFI pada 2024. Terinspirasi dari kesedihan seorang ibu.

Jakarta, TheStanceID - Film berjudul Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (JESEDEF) sukses mencetak sejarah baru di Festival Film Indonesia (FFI), dengan panen penghargaan. Ada kesedihan sosok ibu di balik kesuksesannya.
Film dari rumah produksi Imajinari ini meraih penghargaan kategori akting di FFI 2024 yang digelar di ICE BSD, Tangerang Selatan, Rabu (20/11/2024). Ia juga memenangkan kategori Film Cerita Panjang Terbaik 2024.
Pemain film tersebut pun meraih banyak penghargaan.
Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir sukses mengawinkan Piala Citra dari kategori Pemeran Utama Pria dan Perempuan Terbaik. Sementara itu, Alex Abbad dan Sheila Dara menang di kategori Pemeran Pendukung Pria dan Perempuan Terbaik.
Perayaan ini semakin disempurnakan dengan kemenangan Yandy Laurens sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik dan Donne Maula sebagai Pencipta Lagu Tema Terbaik.
JESEDEF memboyong 7 Piala Citra, setelah bertengger di daftar 11 nominasi. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk film dengan biaya produksi yang tidak terlalu besar ini.
Sempat Ditolak Rumah Produksi Film
Sutradara sekaligus penulis skenario JESEDEF Yandy Laurens saat berpidato dan menerima penghargaan mengakui film tersebut sempat mendapat penolakan dari sejumlah rumah produksi lantaran menghadirkan visual hitam dan putih.
“Film ini awalnya nggak ada yang percaya, ditolak semua produser dan investor. Mereka bilang, ‘Boleh, tapi berwarna’,” kenang Yandy seperti dikutip Suara. Namun penolakan itu justru semakin menginspirasinya untuk melengkapi naskah cerita.
Yandy yang mengawali debut penyutradaraan lewat film Keluarga Cemara ini meyakini visual hitam putih di film JESEDEF menawarkan pengalaman berbeda kepada penonton.
"Tapi saya melihatnya angle-nya sedikit percaya diri, dan terbalik, bahwa justru kalau hitam putih jangan-jangan kita lebih menawarkan pengalaman yang berbeda buat teman-teman kembali nikmatin film di bioskop,” ujarnya.
Akhirnya, Ernest Prakasa dan tim Imajinari tertarik memproduksi filmnya usai membaca naskah ceritanya.
“Coba-coba jalan, begitu script-nya dibaca Ernest, dia suka banget. Nggak lama dia bilang kita bareng Imajinari. Senang banget akhirnya dipercaya," kata Yandy yang merupakan lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ide Cerita dari Kisah Ibunda
Film yang diperankan Nirina dan Ringgo ini adalah kisah romansa. Nirina berperan sebagai Hana yang kehilangan warna hidupnya setelah kepergian orang tercinta. Ringgo sebagai Bagus diam-diam mencintai dan terus menyimpan harapan ke Hana.
Dinamika hubungan keduanya diceritakan lewat pertemuan kembali setelah sekian lama.
Dalam situasi kesedihan yang sulit, Hana menemukan secercah kegembiraan lewat kehadiran Bagus. Di sisi lain, Bagus yang masih memendam rasa, mengabadikan momen itu dengan menuliskan pertemuan mereka jadi sebuah cerita untuk film.
Yandy mengaku ide cerita ini awalnya lebih menceritakan kisah ibunya yang berstatus single parent. "Mempertanyakan kalau sudah kehilangan, boleh enggak sih jatuh cinta lagi?" kata Yandy usai menerima Piala Citra seperti dikutip dari Tempo.
Ia beralasan, momen sekaligus pertanyaan-pertanyaan itu oleh sebagian orang di Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu karena dianggap mengingkari kesetiaan dan lain-lain.
Alasan Memilih Hitam Putih
Ketika konsep dan teknik sinematografi moden bisa melahirkan visual apik penuh warna, Yandy justru menawarkan format kuno di film yakni monokrom. Lebih dari 80% sajian visual di film ini dihadirkan dalam format hitam putih.
Dia punya alasan tersendiri mengapa memilih warna monokrom di film panjang keduanya ini. Menurut dia, warna ini bisa merepresentasikan perasaan dan pengalaman manusia saat dilanda duka, di mana hidup jadi tanpa warna.
Dunia cerita itu dikembangkan Yandy dari pengalaman pribadinya menyaksikan kesedihan sang ibunda saat menanggung duka kehilangan. Dalam tradisi Tionghoa, ada aturan tak tertulis yakni pantang menunjukkan kesedihan, apalagi meratapi kehilangan.
“Dulu waktu saya masih sekolah, saya ingat suatu momen. Pas mau berangkat sekolah, saya melihat mama menatap foto hitam putihnya papa. Mama lagi ngepel, memeluk gagang pel-nya, sambil menatap foto itu. Saya mengintip dari belakang, dan merasa besarnya kesedihan itu,” ungkapnya.
Pada momen itu, Yandy menyadari bahwa ibunya telah kehilangan warna hidup. Dari dalamnya tatapan sang ibu melihat foto almarhum suaminya, dia merasakan duka yang teramat mendalam di sana.
“Saya merasa, melihat hidup mama saya itu kehilangan warna. Itu salah satu dorongan ide cerita ini. Ketika membicarakan duka, rasanya memang black and white,” ujar Yandy menjelaskan pilihan sinematiknya.
Merayakan Warna yang Tercipta
Di sisi lain, visual warna ditampilkan di beberapa bagian sebagai penanda bahwa di antara ‘kabut’ duka, seseorang masih memiliki beberapa hal penting yang bisa membuat hidupnya penuh warna cerah.
Lewat JESEDEF dan segala pencapaiannya, Yandy menunjukkan keseriusannya sebagai seorang sutradara dalam berkarya.
Di luar pilihan visual monokrom yang menembus batas normalitas sinema, Yandi memadukan kemampuan akting para aktor dengan kekuatan cerita yang dekat dengan kehidupan semua orang.
Hasilnya, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film benar-benar menjadi film yang menghasilkan warna cerah. Bukan hanya bagi Yandi selaku sutradara, pemain dan penonton, melainkan juga bagi industri perfilman Indonesia. (est)