Kebijakan Asimilasi Era Orba, Kecelakaan Sejarah yang Tak Boleh Terulang

Meski aturan diskriminasi dicabut, warga keturunan Tionghoa belum pede memakai nama berbahasa Mandarin.

By
in Headline on
Kebijakan Asimilasi Era Orba, Kecelakaan Sejarah yang Tak Boleh Terulang
Warga keturunan Tionghoa melakukan aktivitas keseharian di Tanjung Balai, Medan. (Sumber: https://sejuk.org/)

Jakarta, TheStanceID - Nama Nio Hap Liang bisa dibilang tidak begitu populer bagi masyarakat Indonesia. Tapi, jika menyebut ‘Rudy Hartono’, masyarakat Indonesia terutama pecinta olahraga bulutangkis pasti mengenalnya.

Nio Hap liang adalah nama asli dari Rudy Hartono, legenda bulu tangkis Indonesia kelahiran Surabaya, Jawa Timur pada 18 Agustus 1949.

Ia menjadi salah satu pemain badminton terbaik sepanjang masa Indonesia dengan memboyong titel juara dunia untuk Indonesia pada tahun 1980 dan juara All England sebanyak delapan kali.

Namun seperti mayoritas warga Tionghoa lainnya di Indonesia, dia harus memakai nama resmi yang bernuansa lokal dan meninggalkan kosa kata mandarin, akibat aturan asimilasi Presiden Soeharto di era Orde Baru (Orba).

Aturan tersebut berlaku untuk semua warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Sebut saja pendiri Indomie, Sudono Salim, yang punya nama asli Liem Sioe Liong atau bos Alfamart, Djoko Susanto, pemilik nama asli Kwok Kie Fo.

Peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa sebetulnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu, masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal dipaksa hidup terpisah.

Dosen Bahasa dan Kebudayaan di SOAS University of London Soe Tjen Marching menyebutkan bahwa masyarakat Tionghoa diwajibkan memiliki KTP khusus dan tinggal di permukiman khusus warga Tionghoa, yang kini menjadi daerah Pecinan.

Tujuannya, seperti dikemukakan dalam buku The End of Silence, Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia, agar orang Tionghoa tidak bercampur dengan orang lokal dan menjalin kerjasama karena bisa membahayakan penjajah. 

 

Imbas Pemberantasan PKI

Seperti diketahui, Soeharto mengeluarkan puluhan aturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa mulai dari mengubah nama, melarang perayaan Imlek di publik, hingga penerapan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Amy Freedman dalam buku berjudul Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia menulis Soeharto berdalih warga Tionghoa perlu melakukan asimilasi karena bukan warga asli atau pribumi.

Tak bisa dipungkiri, latar belakang Soeharto mengeluarkan kebijakan itu karena kecurigaannya akan orientasi politik warga Tionghoa. Suharto berkuasa setelah presiden Soekarno—yang dekat dengan Republik Rakyat China (RRC), digulingkan.

Saat itu, segala sesuatu yang berbau China dipandang negatif karena dinilai identic dengan komunisme, yang sedang diberantas sebagai imbas peristiwa Gerakan 30 September yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).

Alhasil, lahirlah Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 yang menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang telah berkewarganegaraan Indonesia harus "melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial."

Peraturan tersebut menganjurkan "nama China" diganti dengan "nama-nama perseorangan dan nama keluarga Tjina" bagi warga Tionghoa-Indonesia yang tertera dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 127 Tahun 1966.

 

Pelarangan Budaya Tionghoa

Tak hanya mengatur soal identitas dan administratif kependudukan, Soeharto juga mengeluarkan kebijakan diskriminatif lainnya lewat Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Aturan ini membuat kebudayaan Tionghoa harus ditinjau dan diwaspadai. Alhasil, selama 32 tahun, WNI keturunan Tionghoa tak bisa mengekspresikan kebudayaan mereka seperti Imlek, berbahasa mandarin, atau mengamalkan ajaran Kong Hu Cu.

Pengamat kebudayaan Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto menyebut, dampak pelarangan tersebut membuat Generasi X di kalangan warga Tionghoa kurang memahami akar budayanya.

“Generasi itu generasi terputus dari akar tradisi nenek moyang dan sebagainya. Sehingga mungkin tidak terlalu banyak yang memahami. Mungkin mereka juga tidak tahu bahasa Mandarin,” kata Johanes dikutip dari BBC Indonesia.

  

Etnis Tionghoa Sukses Berbisnis

Di era orde baru, selain olahraga, etnis Tionghoa hanya diperbolehkan berkecimpung di bidang ekonomi. Mereka tidak diizinkan memiliki areal tanah pertanian, sehingga tidak bisa menjadi petani dan berkebun.

Penguasa Orba menilai pengusaha Tionghoa bisa dimobilisasi untuk mengembangkan proyek dan perusahaan baru yang membutuhkan modal besar dan keterampilan khusus, serta pengetahuan berbisnis.

Jalinan bisnis pengusaha etnis Tionghoa jadi salah satu kunci pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru hingga memunculkan sejumlah taipan atau konglomerat keturunan Tionghoa.

Namun, seiring terjadinya resesi ekonomi tahun 1998, etnis Tionghoa dituding sebagai kambing hitam atas terpuruknya ekonomi Indonesia karena dianggap menikmati sejumlah fasilitas, termasuk kredit perbankan dari pemerintah Orba.

Sentimen Anti-China

Akhirnya, sentimen anti-China memuncak dan etnis Tionghoa kembali menjadi sasaran korban kerusuhan massal pada tahun 1998. Kerusuhan tersebut tak hanya menggulung ekonomi Indonesia, tetapi juga meruntuhkan rezim Orba.

Seiring jatuhnya kekuasaan Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun mengeluarkan aturan yang mencabut seluruh aturan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan di masa Orba.

Sejak tahun 2000 hingga kini, etnis Tionghoa bisa mengekspresikan kembali kebudayaannya secara bebas, termasuk merayakan Tahun Baru Imlek. Meski, mereka tak lantas mengubah kebiasaan memakai nama berkosa kata melayu.

Dilanjutkan, pada tahun 2003, presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, secara resmi menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional, yang baru saja kita peringati.

 

Trauma Politik Membekas

Meski sejumlah aturan diskriminasi sudah dicabut, tidak serta merta warga keturunan Tionghoa merasa bebas untuk memakai nama asli berkosa kata mandarin.

Trauma politik yang dialami warga Tionghoa dari peristiwa di tahun 1965 dan juga kerusuhan di tahun 1998 menjadi salah satu alasan warga lebih memilih nama Indonesia.

"Ketakutan kalau nanti akan dipersulit dalam mengurus KTP di tingkat RT atau kelurahan, saya kira masih kuat juga," kata Candra Yap, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Indonesia Tionghoa (INTI), dikutip ABC Indonesia.

Dia menilai, nama berbau Indonesia atau Barat menjadi pilihan yang paling aman, selain karena bisa membuat warga keturunan Tionghoa bisa berbaur dengan warga pribumi dalam aktivitas keseharian. 

"Ketakutan akan kesulitan birokrasi yang akan dialami, apalagi misalnya di daerah terpencil menjadi salah satu sebab. Kemungkinan mereka terkena pungli dan hal lain."

Merangkul Jati Diri

Namun, banyak juga keluarga Tionghoa di Indonesia sekarang kembali memberi nama-nama Tionghoa kepada anak-anak mereka.

Salah satunya, keluarga Merlinna Meris yang tinggal di Lampung. Mereka memberi nama anak perempuannya yang berusia hampir dua tahun dengan nama Tionghoa, meski tidak dicatat resmi dalam akta kelahiran.

Menurutnya, pemberian nama Tionghoa tersebut lebih sebagai tradisi budaya saja dalam rangka melestarikan marga leluhur.

“Nama Tionghoa anak saya Tjeuw Chuen Xiang dan nama Indonesianya adalah Eleanor Jillian Kay dan kami memanggilnya setiap hari sebagai Jill," ujar Merlin bangga. (est)


 Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\