Jakarta, TheStance – Pemberontak Satuan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) menginvasi negara bagian Gezira Sudan, di selatan Khartoum dalam dua pekan terakhir, membantau ribuan orang warga sipil. Ada jejak Israel di sana.

Dunia terperangah ketika RSF akhirnya menguasai Al-Fashir, kota yang dua tahun terakhir mereka kepung. Mereka membantai semua lelaki, bahkan memperkosa dan mengeksekusi perempuan, serta membunuh anak-anak tak berdosa.

Mereka dengan percaya diri memvideokan kekejaman tersebut dan mengunggahnya di media sosial. Praktis pembantaian itu memicu ketakutan massal yang memaksa 120.000 orang mengungsi.

Pembantaian brutal RSF itu mirip dengan kekejaman yang dilakukan paramiliter di negara bagian Darfur tahun lalu.

RSF dan Awal Mula Perang Saudara Sudan

SudanBerdiri sejak tahun 2013, RSF terbentuk dari sisa-sisa milisi Janjaweed yang ditugasi mantan diktator Sudan Omar Al-Bashir untuk menekan pemberontakan suku di negara bagian Darfur. Operasi RSF berujung genosida terhadap 300.000 orang.

Konflik antara RSF dengan tentara Sudan dimulai pada April 2023 setelah perebutan kekuasaan antara dua jenderal, Abdel Fattah al Burhan yang memimpin militer Sudan (SAF) dan Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti) yang memimpin RSF.

Masalah antara dua jenderal itu merembet dengan cepat hingga seluruh negeri, mengorbankan masyarakat sipil tak bersenjata termasuk anak-anak dan perempuan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan bahkan Amerika Serikat (AS) menyebut RSF telah melakukan genosida dan pemerkosaan massal terhadap komunitas Masalit dan non-Arab di daerah Darfur.

Pemimpin RSF Hemedti mengakui adanya “pelanggaran” oleh pasukannya, tetapi mengklaim bahwa komite investigasi telah dibentuk untuk menyelidiki kasus tersebut.

Berlanjut pada bulan Agustus 2023, bencana kelaparan melanda orang-orang yang tinggal di kamp pengungsi Zamzam, di selatan Al-Fashir, sebagai buntut dari konflik bersenjata di Sudan.

Akhirnya Kuasai Al-Fashir

Al-FashirSerangan RSF meningkat beberapa pekan terakhir dengan menggunakan peralatan canggih seperti drone dan peralatan radar milik Amerika Serikat (AS). Mereka pun berhasil menguasai kota Al-Fashir.

Ribuan orang dilaporkan tewas dibantai setelah RSF mengambil alih kota tersebut pada 26 Oktober lalu.

Menteri Negara untuk Kesejahteraan Sosial Sudan, Salma Ishaq, mengungkapkan bahwa sedikitnya 300 perempuan dilaporkan tewas di tangan kelompok RSF hanya dalam 2 hari pertama setelah kelompok itu memasuki el Fasher.

“RSF membunuh 300 perempuan selama dua hari pertama mereka memasuki El Fasher,” kata Salma kepada Anadolu.

Salma juga menyebut bahwa perempuan di El Fasher telah menjadi korban pelecehan seksual, kekerasan, dan penyiksaan. Ia mencatat bahwa kasus pemerkosaan setidaknya mencapai 25 orang.

“Jika RSF tetap berada di El-Fasher, mereka akan memusnahkan setiap manusia di Darfur. Ini adalah pembersihan etnis yang sistematis, dan semua orang terlibat melalui keheningan mereka,” kata Ishaq.

Jaringan Dokter Sudan juga menyebut lebih dari 1.500 orang tewas hanya dalam tiga hari, ketika warga sipil berusaha melarikan diri dari kota yang terkepung.

Upaya Pembersihan Etnis oleh RSF

Al-Fashir

Laboratorium Penelitian Kemanusian Universitas Yale mengatakan kota Al Fashir dalam proses pembersihan etnis yang menyasar komunitas adat non-Arab Fur, Zaghawa, dan Berti lewat pemindahan paksa dan eksekusi.

Tim Yale juga melaporkan citra satelit yang menunjukkan kumpulan citra yang konsisten dengan mayat manusia dewasa dan perubahan warna kemerahan di tanah.

Lembaga tersebut juga memperingatkan adanya praktik pembersihan etnis yang disengaja dan sistematis yang mengarah terhadap komunitas non-Arab di wilayah itu.

Idris Al-Harith Mohamed, Duta Besar Sudan untuk PBB, mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa pembantaian di El Fasher setara dengan genosida menurut semua standar hukum.

“Apa yang kita saksikan di El Fasher merupakan kelanjutan dari kampanye pembersihan etnis sistematis yang telah berlangsung sejak 2023,” ucap Harits.

Dengan jatuhnya El Fasher ke tangan RSF, kelompok pimpinan Dagalo itu menguasai lima negara bagian Darfur di barat, dari 18 negara bagian Sudan. Darfur mencakup sekitar seperlima dari wilayah Sudan.

Namun, sebagian besar dari 50 juta penduduk negara itu tinggal di wilayah yang dilindungi militer Sudan. SAF saat ini menguasai sebagian besar wilayah dari 13 negara bagian yang tersisa di selatan, utara, timur, dan tengah, termasuk ibu kota Khartoum.

Lingkaran Kepentingan di Balik Konflik Sudan

London

Di tengah konflik yang berkepanjangan, dunia internasional mulai menaruh perhatian khusus pada Sudan pada awal tahun ini, ketika sebuah konferensi diadakan di London dan dihadiri oleh 17 negara termasuk negara dari Uni Eropa dan Uni Afrika.

Dalam konferensi itu beberapa negara mengritik keterlibatan Uni Emirat Arab (UEA) dalam pertikaian di Sudan. Pemerintah Sudan menuduh UEA berkontribusi memasok senjata ke kelompok RSF.

Laporan pakar PBB yang bocor juga menemukan aktivitas penerbangan dari UEA. Pesawat angkut itu dituduh sengaja menghindari deteksi saat terbang menuju Chad, lokasi penyelundupan senjata yang melintasi perbatasan ke Darfur.

Secara historis hubungan antara UEA dengan RSF bermula pada perang Yaman tahun 2015. Pada saat itu, RSF dimanfaatkan untuk merekrut milisi yang dikirim ke Yaman untuk bertempur bagi pasukan Saudi dan UEA melawan suku Houthi.

Hubungan UEA dan RSF makin kentara ketika UEA mengatur pertemuan rahasia yang mempertemukan pimpinan RSF dengan kepala agen mata-mata Israel pada Agustus 2020.

Dagalo, dilaporkan tiba dengan pesawat pribadi ke lokasi rahasia. Dalam pertemuan tersebut, turut hadir pemimpin badan intelijen Israel (Mossad), Yossi Cohen.

Selain itu, ada juga pejabat tinggi maskapai penerbangan Emirat, termasuk Penasihat Keamanan Nasional Tahnoun Bin Zayed, saudara laki-laki Putra Mahkota UEA Mohamed bin Zayed Nahyan.

Peran Israel dalam Genosida Al-Fashir

Abdel Fattah al-Burhan

Kekejaman RSF di El Fasher diduga terkait dengan Israel. Menurut laporan Republika, sebelumnya pada Februari 2020, pimpinan militer Sudan Abdel Fattah al-Burhan menemui Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Uganda.

Pertemuan tanpa dokumentasi itu membicarakan normalisasi hubungan kedua negara, tanpa melibatkan Abdalla Hamdok yang anti-normalisasi. Setahun kemudian, Burhan bertemu dengan Menteri Intelijen Israel Eli Cohen. Kali ini dengan normalisasi.

Para pengamat menilai tujuan Burhan menormalisasikan hubungan dengan Israel merupakan jalan untuk memperoleh keuntungan secara politik.

“Membangun hubungan dengan Jenderal Burhan dan Hemedti, Israel memasitkan pengaruh atas faksi mana pun yang menang, mengamankan kepentingannya terlepas dari hasil internal Sudan,” demikian dilaporkan.

Dari pihak Israel, lokasi strategis Sudan di Laut Merah menawarkan Israel sebagai penyangga keamanan dan keuntungan geopolitik dalam memantau rute laut dan menangkal pengaruh Iran atau Tiongkok.

Investigasi oleh Sudan Transparency membuka tabir bahwa dinas intelijen Israel membuka saluran komunikasi dengan Dagalo. Sebagai informasi, Dagalo dilaporkan mulai menjalin hubungan dengan Mossad pada 2020.

Investigasi itu mengungkap penerbangan rahasia pada Mei 2021 yang menyebut seorang mantan pejabat militer Israel mengirimkan peralatan pengawasan canggih ke Khartoum setelah transit singkat selama 45 menit.

Dalam penuturan peneliti Pan-Afika, Kribsoo Diallo yang berbasis di Kairo, hubungan antara RSF dengan Israel merupakan konsekuensi langsung di medan perang.

“Jika terkonfirmasi, hubungan semacam itu dapat meningkatkan kapasitas operasional RSF melalui data intelijen atau sistem komunikasi canggih,” ujarnya seperti dikutip QNN.

Hubungan tersebut, lanjut dia, memungkinkan RSF mempertahankan pengepungan atas Al-Fashir selama bertahun-tahun dan melakukan serangan yang terkoordinasi dengan baik di wilayah sipil.

Genosida ala Israel dalam Konflik Sudan

Abu Lu'lu'

Investigasi Al Jazeera mengungkap bahwa kelompok RSF membenarkan prosedur ala Israel untuk menargetkan titik-titik wilayah sipil, dengan menyebut kamp pengungsian Zamzam sebagai “zona militer” sebelum menyerangnya.

RSF juga menggunakan jargon hak asasi manusia dan istilah dari hukum humaniter internasional (IHL) untuk membenarkan tindak kekejaman.

Selama bertahun-tahun, Israel menerapkan praktik ini sebagai upaya untuk menangkis kritik atas pembunuhan dan penindasan terhadap warga Palestina. Sejak meletusnya praktik genosida di Gaza pada 7 Oktober 2023, praktik ini justru digandakan.

Seorang penasihat RSF bahkan membocorkan kepada media Israel bahwa operasi tentara Sudan “menyerupai serangan teroris Palestina terhadap Israel.”

Israel mengeklaim rumah sakit Gaza merupakan pusat kendali dan komando Hamas. Israel juga menyebut Hamas bersembunyi di antara warga sipil dan menggunakan mereka sebagai perisai manusia untuk membenarkan serangan kepada warga sipil.

Baca Juga: Komite Olimpiade Internasional dan Standar Ganda Pro-Israel

Dosen Luigi Daniele, Dosen senior hukum humaniter internasional di Nottingham Law School, mengatakan bahwa taktik RSF persis seperti Israel dalam memperoleh legitimasi hukuman secara kolektif.

“Fakta bahwa klaim yang dibuat oleh RSF di Sudan menyerupai klaim yang dibuat Israel di Gaza, mengungkap adanya template untuk melakukan pemusnahan massal dan bahkan genosida,” tutur Luigi.

Menyusul pembantaian A-Fashir, RSF mengunggah foto dan video di mana mereka menangkap komandan operasi Al-Fashir yakni Abu Lu'lu. Namun, selang beberapa hari kemudian Abu Lu'lu' mengunggah video dirinya bersantai di luar penjara. (mhf)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance