Jakarta, TheStanceID - Ada satu peribahasa yang sering dikutip jurnalis Barat untuk menggambarkan keteguhan Taliban dalam melawan invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.

“Anda boleh punya jam tangan, tapi kami punya waktu,” demikian bunyi peribahasa yang populer di kalangan masyarakat Afghanistan, tapi sering dinisbatkan secara sembrono kepada Taliban.

Tanah Afghanistan memang menjadi semacam tanah terkutuk bagi para kolonialis. Mulai dari Inggris (1838-1919), Uni Soviet (1929-1979), dan terakhir AS (2001-2021) yang dibantu Aliansi Pakta Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO).

Kutukan itu dirasakan betul oleh tentara AS. Mereka menginvasi Afghanistan pada 2001 dengan dalih memerangi rezim Taliban yang dituding melindungi Osama bin Laden, tersangka utama serangan menara World Trade Center (WTC) atau dikenal sebagai tragedi 9/11.

Pagi itu pada 11 September 2001, empat pesawat komersial dibajak. Dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar WTC di New York, satu pesawat menabrak markas Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency/CIA) di Pentagon, Virginia, dan satu lagi jatuh di lapangan terbuka Pensylvania.

Momentum peringatan tragedi menara kembar World Trade Center (WTC) 11 September 2001, dipakai untuk menyoroti aib kubu pemerintahan Joe Biden (Partai Demokrat) ketika memutuskan kabur dari Afghanistan. Maklum, pemilihan presiden (pilpres) lagi panas-panasnya.

"Kompornya" adalah Ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR AS dari Partai Republik, Mike McCaul. Pada Minggu (8/9/2024) dia merilis dokumen setebal 350 halaman meminta Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris bertanggung jawab atas penarikan mundur tentara AS dari Afghanistan.

Kamala Harris saat ini mewakili Partai Demokrat untuk menjadi Presiden AS, bersaing dengan Donald Trump yang mewakili Partai Demokrat.

McCaul menilai insiden di Afghanistan menunjukkan pola yang sama dengan penarikan mundur tentara AS dari Vietnam pada tahun 1970, yang diperjuangkan Biden saat menjadi senator kala itu: “Pola posisi kebijakan luar negeri tak berperasaan dan sikap tega untuk meninggalkan mitra strategis.”

Komite Urusan Luar Negeri DPR AS menilai penarikan mundur 2.500 tentara AS yang tersisa di Afghanistan adalah aib bagi Gedung Putih karena membuat kampanye perang selama 20 tahun di sana berakhir sebagai kekalahan yang memalukan.

Taliban Berkuasa Lagi

Selama 20 tahun perang, milisi Taliban praktis menghadapi tujuh negara besar NATO dan mitranya, yakni AS, Inggris, Kanada, Italia, Jerman, Australia, dan Selandia Baru. Iran belakangan ikut turun dengan membentuk Aliansi Utara untuk melindungi komunitas Syiah Hazara yang dipersekusi.

Sebelum diserang AS, rezim Taliban--yang berkuasa setelah memenangi perang antar-faksi sejak 1996--hanya diakui oleh tiga negara, yakni Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). Lucunya, ketiga negara itu sebelumnya mendukung faksi-faksi berbeda.

Dalam “Perang Global Melawan Terorisme” untuk menghukum Taliban yang diduga melindungi Osama bin Laden, tentara koalisi AS dengan cepat menaklukkan kota-kota utama di sana, sementara Taliban mundur ke pegunungan dan melancarkan perang gerilya.

Taktik gerilya ini efektif untuk melawan keunggulan militer koalisi AS dari sisi dana dan persenjataan. Perang pun terus berlarut selama 20 tahun, sekalipun pemerintah Afghanistan bentukan AS telah beroperasi di Kabul dan diakui oleh PBB.

Pada Agustus 2021 ketika AS mendapat sinyal pemerintahan korup Afghanistan yang mereka bekingi akan runtuh, Departemen Luar Negeri AS memutuskan meninggalkan Afghanistan. Biden menyetujui keputusan itu, di tengah pergerakan cepat milisi Taliban menuju Kabul, Ibu Kota Afghanistan.

Selepas kepergian tentara AS, Taliban kembali menguasai Kabul, membentuk pemerintahan resmi, dan kembali menerapkan aturan ketat di Afghanistan. Bedanya, kali ini mereka meraih dukungan tidak hanya dari tiga negara, tapi dari negara-negara tetangganya dan dunia.

Selain Saudi, UEA, dan Pakistan, TheStanceID mencatat sembilan negara telah menyatakan kesiapan untuk bekerja-sama dengan pemerintahan Taliban. Mereka adalah China, Iran, Qatar, Bangladesh, Turki, Turkmenistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Indonesia.

Rusia, yang memiliki luka masa lalu ketika Uni Soviet ditendang dari bumi Afghanistan, juga sama. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kehakiman Rusia telah mengirim proposal ke Kremlin untuk mengeluarkan Taliban dari daftar organisasi teroris.

Beberapa negara Eropa, yang sebelumnya ikut bergabung dalam koalisi AS menghantam Taliban, juga dikabarkan menjajaki kemungkinan membuka kembali kedutaan mereka di Afghanistan, sebagaimana diberitakan Bloomberg.

Perkembangan politik internasional yang terus berujung pada pengakuan dunia terhadap pemerintahan Taliban, membuat tudingan McPaul kian menyala. Ini bakal menjadi lelucon menyedihkan bagi AS, yang bisa digambarkan dalam satu meme:

“Kalau ente lagi merasa nggak guna, ingatlah bahwa Amerika perlu 20 tahun, empat presiden, 7.385 nyawa tentara, dan belanja APBN sebesar US$2,3 triliun untuk mengganti Taliban dengan Taliban.” (ags)