Oleh Khudori, mantan jurnalis dengan posisi terakhir sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Medcom.id. Pernah menjadi anggota Kelompok Kerja (Pokja) Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020), kini aktif menjadi penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Sektor pertanian muncul sebagai ‘jawara’ baru sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut lapangan usaha. Data itu dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (5/5/2025).
Dari total pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 yang tercatat 4,87%, sebanyak 1,11% dikontribusi oleh sektor pertanian, baru kemudian disusul industri pengolahan (0,93%), perdagangan (0,66%), serta informasi dan komunikasi/infokom (0,53%).
Sektor dengan sumbangan 12,66% ke PDB itu tumbuh hingga 10,52% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal I-2025.
Pertumbuhan tertinggi di antara lapangan usaha lainnya itu—mengalahkan industri pengolahan dan perdagangan itu—lantaran panen raya dan jagung, dan peningkatan permintaan domestik.
Ditopang oleh panen raya padi dan jagung, pada kuartal I-2025 subsektor tanaman pangan tumbuh hingga 42,26% (yoy). Subsektor peternakan naik 8,83% menyusul kenaikan permintaan domestik daging dan telur selama Ramadan dan Lebaran.
Kalau dilihat dari produksi beras dan jagung, triwulan I 2025 memang cukup tinggi dibandingkan triwulan I 2024. Misalnya, produksi beras dan jagung (pipilan kadar air 14%) triwulan I 2024 total masing-masing hanya 5,6 juta ton dan 3,4 juta ton.
Pada triwulan I 2025 produksi beras dan jagung (pipilan kadar air 14%) masing-masing naik menjadi 9,04 juta ton dan 4,64 juta ton. Jadi ada kenaikan yang lumayan tinggi.
Mengapa Naik Tinggi?
Setidaknya ada beberapa penjelasan. Pertama, produksi beras dan jagung triwulan I 2025 yang tinggi karena luas panen yang tinggi. Luas panen tinggi karena luas tanam yang tinggi di mana cuaca normal saat musim tanam padi dan jagung 3-4 bulan lalu.
Bandingkan dengan produksi beras dan jagung triwulan I 2024 yang rendah karena luas panen rendah. Luas panen rendah karena luas tanam yang rendah.
Luas tanam rendah karena 3-4 bulan (September-Desember 2023) sebelum Januari-Maret 2024 iklim/cuaca tidak normal karena ada El Nino. Jadi, pertumbuhan triwulan I 2025 tinggi salah satunya disumbang oleh iklim/cuaca yang normal.
Merujuk data Badan Meterorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), El Nino terjadi sejak Juni 2023 hingga April 2024. Akibat El Nino, wilayah-wilayah produksi padi dan jagung di berbagai daerah yang tidak ada jaminan pasokan air pun tak dibudidayakan.
Inilah yang membuat produksi padi dan jagung tertekan akibat El Nino. Untuk menekan dampak negatif El Nino, pada akhir 2023 Kementerian Pertanian menggenjot program pompanisasi. Program ini cukup menolong, sehingga produksi tidak terlalu tertekan.
Kedua, iklim/cuaca yang normal membuat pola produksi bergeser. Pada tahun 2024, puncak panen padi dan jagung masing-masing terjadi di April dan Februari. Namun pada tahun 2025, puncak panen padi dan jagung bergeser sebulan lebih awal.
Puncak panen padi terjadi di Maret dan April, sedangkan puncak panen jagung di Februari. Produksi padi diperkirakan mulai melandai pada Mei, sedangkan jagung sudah melandai sejak April.
Jadi, karena pergeseran puncak panen bisa dipahami jika pertumbuhan triwulan I 2025 begitu tinggi.
Baseline 2024 Rendah
Selain itu, merujuk data BPS, pada triwulan I 2024 pertumbuhan pertanian terkontraksi yakni minus 0,41%. Karena baseline yang rendah, wajar jika di periode yang sama di tahun berikutnya bakal terjadi pertumbuhan yang tinggi atau rebound.
Terlepas dari itu semua, tentu tidak bisa dinafikan berbagai langkah dan program yang dilakukan pemerintah melalui kementerian teknis, yakni Kementerian Pertanian (Kementan).
Sejak ditunjuk kembali menjadi Menteri Pertanian pada 25 Oktober 2023, Menteri Amran Sulaiman menggencarkan program pompanisasi, penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) dan mengembalikan alokasi subsidi pupuk jadi 9,5 juta ton.
Sejak tahun lalu, Kementan memfokuskan anggaran dan sumber daya manusia untuk menggenjot produksi padi dan jagung. Bahkan, tahun ini sumber daya juga difokuskan kepada dua komoditas itu. Wajar jika kedua komoditas tumbuh tinggi.
Selain itu, sejak Presiden Prabowo Subianto berkuasa juga dilakukan penyederhanaan mekanisme subsidi pupuk, selain besaran subsidi dipertahankan pada 9,5 juta ton.
Juga fokus penyediaan air melalui perbaikan irigasi, optimalisasi bendungan/embung/waduk, dan melanjutkan program pompanisasi.
Apa yang bisa dijelaskan dari kondisi di atas? Diakui atau tidak, pertanian di Indonesia masih tergantung pada kondisi iklim/cuaca. Irama tanam dan irama panen ditentukan oleh situasi iklim/cuaca.
Padi misalnya, dalam kondisi iklim/cuaca normal, irama tanam serentak berujung pola panen yang ajeg: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65% dari total produksi setahun), panen gadu (Juni-September dengan 25-30% dari total produksi setahun), dan musim paceklik (Oktober-Januari dengan 5-15% dari total produksi setahun).
Baca Juga: Catatan atas Penolakan Bulog Menyerap Gabah Petani
Pola panen ini akan bergeser, ke depan atau ke belakang, tergantung kondisi iklim/cuaca.
Ketika terjadi El Nino, tanam bisa bergeser ke belakang sehingga panen pun bergeser dari pola umumnya. Ketika terjadi La Nina, wilayah-wilayah yang semula tidak ditanami bisa ditanami karena tersedia air.
Agar ketergantungkan pada iklim/cuaca ini berkurang perlu ada terobosan inovasi dan teknologi yang memungkinkan faktor iklim/cuaca bisa dimodifikasi atau dikendalikan.***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.