Badai Milton Bikin Asuransi Jebol Rp1.550 Triliun, Ini Dampaknya ke Kita

Badai Milton picu lonjakan klaim asuransi di AS. Industri reasuransi dan asuransi pun terpaksa mendongkrak harga premi di 2025.

By
in Now You Know on
Badai Milton Bikin Asuransi Jebol Rp1.550 Triliun, Ini Dampaknya ke Kita
Penampakan badai Milton dari citra satelit. Sumber: Nasa

Jakarta, TheStanceID - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mulai waswas dengan kondisi negaranya setelah beberapa negara bagian di Negeri Sam itu dihantam badai topan. Warga Indonesia bisa terkena dampaknya, secara finansial.

Presiden berusia 81 tahun itu menyebut badai Milton, yang menerjang Florida dan melumpuhkan berbagai sektor ekonomi di negara bagian berpopulasi 22 juta penduduk itu, berisiko menjadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir.

Biden pun menitahkan pejabat negaranya untuk segera melakukan segala upaya demi menyelamatkan nyawa warga AS, “serta membantu mereka pasca-bencana,” kata Biden, dalam wawancara dikutip CBS, Selasa (8/10).

Badai Milton yang menerpa sejak Minggu (6/10) terjadi kurang dari dua pekan setelah Badai Helene menghantam Florida, Georgia, Carolina, dan Tennessee. Tak hanya hanya melumpuhkan kegiatan masyarakat, badai Milton juga menewaskan setidaknya 14 orang menurut laporan NBC.

Akibat kondisi darurat ini, Gubernur Florida Ronald Dion DeSantis mengeluarkan Executive Order yang mengumumkan keadaan darurat di 35 distrik di Florida setelah mendapatkan laporan dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Dampak bencana ini tak hanya dirasakan pemerintah negara bagian AS. Imbas dari sisi ekonomi, terutama dari sisi pertanggungan asuransi kerugian (general insurance) dan reasuransi (re-insurance) pun diprediksi bengkak.

Lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, dalam laporan terbaru menyatakan bencana ini tidak akan mempengaruhi rating perusahaan asuransi properti-kecelakaan (property and casualty) dan reasuransi global yang dinilai, mengingat modalnya sangat kuat.

Risiko Industri Tetap Ada

Namun, kata Fitch, perusahaan spesialis asuransi properti di Florida, yang tidak dipantau Fitch, berpotensi rentan terhadap nilai klaim (nilai kerugian yang harus diganti oleh perusahaan asuransi kepada kliennya) yang bisa melebihi batas reasuransi.

Apalagi, menurut NOAA, badai Milton yang menjadi badai kesembilan di musim badai Atlantik 2024 ini dengan cepat naik level dari Kategori 3 menjadi Kategori 5 di Teluk Meksiko, Senin (7/10), berdasarkan perhitungan Saffir-Simpson Hurricane Scale (SSHS).

Lazimnya, perusahaan asuransi umum seperti proteksi properti-kecelakaan, kendaraan, dan perjalanan, membagi risikonya dengan membayar premi—yang didapat dari nasabah—ke perusahaan reasuransi. Tujuannya untuk berbagi risiko.

Risiko bencana alam atau natural catastrophic (Nat Cat) ini juga diasuransikan kembali oleh perusahaan asuransi ke perusahaan reasuransi dunia, guna membantu melindungi arus kas mereka dari klaim kerugian nasabah.

Di titik inilah Fitch menilai badai Milton bisa memicu dampak yang gelombangnya dirasakan keuangan dunia, mulai dari “badai pengajuan klaim” di perusahaan asuransi AS, diikuti “banjir pembayaran klaim” di perusahaan reasuransi global.

Nilai klaim akibat Milton diestimasi antara US$30 miliar-US$50 miliar atau setara Rp465 triliun-Rp775 triliun. Ini adalah nilai terbesar sejak badai Ian (Kategori 4) yang menghancurkan wilayah yang sama pada 2022 dan menyebabkan kerugian US$60 miliar (Rp930 triliun).

“Milton akan menjadi tekanan terbesar bagi pendapatan perusahaan asuransi yang memiliki eksposur besar di Florida, khususnya periode kuartal 4 dan full year 2024,” tulis Fitch dalam keterangan resmi 10 Oktober lalu.

Kerugian asuransi, lanjut Fitch, akan menekan bisnis reasuransi karena ada pengalihan kerugian yang besar ke pasar reasuransi, terutama dari perusahaan-perusahaan di Florida dengan retensi (batas maksimum uang pertanggungan asuransi) yang lebih rendah.

Kerugian Global

Fitch juga memprediksi badai Milton akan menyebabkan kerugian yang diasuransikan ke industri global mencapai lebih dari US$100 miliar (Rp1.550 triliun). Hal ini menjadikan kerugian dengan nilai di atas retensinya selama 5 tahun beruntun.

Kenaikan tingkat kerugian dari klaim bencana alam ini berisiko membuat tarif premi bencana pada tahun depan urung diturunkan, karena perusahaan reasuransi perlu tambahan kas dalam strategi underwriting (menilai risiko).

Sebelumnya tarif premi properti di Florida sempat turun 10% saat pembaruan reasuransi pada Juni-Juli lalu, menyusul minimnya dampak klaim atas kerugian akibat bencana alam pada tahun 2023.

Dengan kehadiran badai Milton, jumlah kerugian badai pada sisa tahun 2024 berisiko melonjak. “Posisi genting pasar asuransi pemilik rumah di Florida akan semakin melemah dengan kerusakan yang ditimbulkan Milton,” tulis analis Fitch.

Risiko kerugian sebesar itu terjadi mengingat perusahaan asuransi rupanya semakin percaya diri menawarkan produk proteksi bencana.

Pada 30 Agustus lalu, lembaga rating global lainnya, S&P Global Ratings, menyatakan bahwa rata-rata eksposur risiko perusahaan reasuransi dunia untuk pertanggungan bencana alam (Nat Cat) tahun ini naik hingga 14%.

“Sebagian besar dari 19 perusahaan reasuransi global terbesar yang diperingkat S&P Global Ratings justru meningkatkan eksposur mereka terhadap bencana alam selama pembaruan reasuransi pada Januari 2024,” tulis S&P.

Pemicunya, saat itu, adalah tarif premi reasuransi yang menguntungkan dan pendapatan bersih dari investasi yang melonjak di 2023 dan awal 2024. Tidak ada yang menyangka bahwa banyak bencana bakal terjadi pada tahun 2024.

Tahun 2023, Swiss Re Institute mengestimasi nilai kerugian yang diasuransikan secara global dari bencana alam mampu menembus US$108 miliar atau setara Rp1.674 triliun. Sebagian besar ditanggung reasuransi utama.

Jika lonjakan kerugian ini benar terjadi, maka reasuransi global akan menanggung pembayaran klaim sangat besar di tahun ini, yang membuat kasnya bocor. Untuk menyehatkan keuangannya, mereka harus mengumpulkan kembali pemasukan tahun depan, dengan menaikkan premi.

Artinya, perusahaan asuransi seluruh dunia akan menghadapi kenaikan harga premi reasuransi. Ke mana mereka membagi beban itu? ke pelanggan, termasuk ke warga Indonesia, yang mengikuti asuransi umum seperti properti, kendaraan, dll.

Klaim Sudah Naik

Faktanya, klaim asuransi terkait bencana sudah meningkat sejak tahun 2022. Menurut data Policy Genius, mengutip laporan Insurance Information Institute, perusahaan asuransi AS membayar klaim hingga US$99 miliar atau tembus hingga Rp1.534 triliun akibat bencana alam pada 2022.

Angka itu menjadikannya tahun kelima termahal untuk kerugian asuransi. Maka tak heran, perusahaan asuransi pun membebankan beban premi lebih tinggi kepada pelanggan dari sebelumnya.

Hal itu tampak dari Laporan Policy Genius Home Insurance Pricing 2023 yang mencatat, dari Mei 2022 hingga Mei 2023, premi polis asuransi rumah naik rata-rata 21% saat perpanjangan. Perhitungan itu diperoleh dari analisis terhadap 17.401 polis aktif yang ditawarkan untuk perpanjangan.

“Temuan terbaru ini adalah kelanjutan dari tren premi asuransi yang kami laporkan dalam Laporan Policy Genius Home Insurance Pricing 2022, yang mencatat Mei 2021 hingga Mei 2022 premi asuransi rumah secara nasional naik rata-rata 12%, lebih tinggi dari tingkat inflasi 8,6% yang memecahkan rekor selama periode yang sama,” tulis laporan tersebut.

Policy Genius juga menganalisis bahwa bencana alam, termasuk badai Milton, akan menjadi faktor pertama dan terpenting yang akan memicu kenaikan harga premi asuransi properti ke depannya.

Pertama, NOAA mencatat, dari 2000-2009, AS mengalami 67 cuaca buruk (7 peristiwa/tahun) yang mengakibatkan kerusakan senilai US$1 miliar lebih. Pada 2010-2019, frekuensinya naik dua kali menjadi 131, atau 13 kejadian per tahun.

Frekuensi bencana terus meningkat. Sejak 2020-2022 saja, atau dalam 2 tahun, sudah ada 72 bencana dengan kerugian senilai US$72 miliar (20 kejadian per tahun).

“Perubahan iklim telah memberikan dampak sangat besar bagi industri asuransi. Dengan sebagian besar cuaca ekstrim kerap terjadi di daerah padat penduduk dan berkembang, perusahaan asuransi akan membayar lebih banyak klaim dari sebelumnya. Imbasnya, perusahaan asuransi menaikkan premi untuk memitigasi risiko dan untuk tetap untung.”

Keterbatasan Pilihan Asuransi

Alasan pertama itu pun memicu timbulnya alasan kedua, yakni makin sedikit pilihan bagi nasabah untuk membeli asuransi rumah. Pasalnya, ketika perusahaan asuransi mengerek premi, perusahaan asuransi lainnya justru tak lagi masuk ke segmen ini.

Contoh, State Farm dan Allstate, dua perusahaan asuransi rumah terbesar di California, tak lagi menerima nasabah baru karena tingginya risiko kebakaran hutan dan persaingan pasar. Di Florida, sembilan asuransi properti gulung tikar sejak awal 2021.

Sesuai hukum pasar, ketika permintaan produk (asuransi) meningkat karena naiknya kesadaran akan risiko kebencanaan, sementara suplai produk asuransi tetap atau bahkan berkurang, maka harga premi asuransi pun terkerek.

Ketika semua reasuransi global mengalami situasi yang sama, yakni kenaikan klaim akibat bencana, maka mereka pun membagi beban tersebut ke perusahaan asuransi, dengan kenaikan harga premi di tahun depan.

Di titik inilah konsumen asuransi seluruh dunia, termasuk Indonesia, akan terkena imbasnya. (mts)

\