Amnesty International: Revisi UU TNI Bawa Indonesia Kian Dekati Otokrasi
Aksi protes aktivis menjadi indikator bahwa DPR tidak transparan dalam pembahasan revisi UU TNI.

Jakarta, TheStanceID - Pembahasan Revisi Undang-Undang nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah masih bergulir, di tengah protes keras dari koalisi masyarakat sipil.
Seiring itu, serangkaian intimidasi dan kriminalisasi terjadi pada para aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan yang bersuara lantang mengritik dan menolak proses pembahasan RUU TNI yang dinilai tidak transparan dan tergesa-gesa.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil cum Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus melaporkan kantor mereka di kawasan Jalan Kramat II, Kwitang, Jakarta Pusat didatangi orang tidak dikenal pada Minggu (16/3/2025) dini hari.
Dari tangkapan layar kamera CCTV yang dibagikan Andrie, terlihat tiga orang tak dikenal menyambangi kantor KontraS. Dua pria mengenakan pakaian hitam dan seorang lainnya memakai kaos berwarna krem.
"Didatangi oleh tiga orang tidak dikenal (OTK) yang mengaku dari media, tapi tanpa menjelaskan asal/nama medianya termasuk tujuannya datang tengah malam," kata Andrie dalam keterangannya, Minggu (16/3/2025).
Andrie juga mengatakan orang tak dikenal itu terus-terusan membunyikan lonceng yang berada di Kantor KontraS tanpa tujuan yang jelas. Sementara, di waktu yang bersamaan, ia juga mendapatkan tiga panggilan telepon dari nomor tidak dikenal.
Kedatangan ketiganya dan telepon tak dikenal tersebut dinilai sebagai bentuk teror terhadap KontraS beberapa jam setelah mereka bersama anggota Koalisi masyarakat Sipil "menggeruduk" rapat antara komisi I DPR RI dan TNI di Hotel Fairmont Jakarta, hari Sabtu (15/3/2025).
Insiden Fairmount
Sebelumnya, Panitia Kerja Revisi Undang-undang TNI melakukan pembahasan Revisi UU Nomor 34 secara tertutup di Hotel Fairmont pada Sabtu-Minggu pekan lalu.
Pelaksanaan secara tertutup itu kemudian memicu tiga aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil masuk ke dalam ruang dilaksanakannya pembahasan dan meminta dihentikan serta dilakukan secara terbuka melibatkan publik.
“Kami menolak adanya pembahasan di dalam. Kami menolak adanya dwifungsi ABRI," teriak Andrie sambal membentangkan poster. "Hentikan pembahasan dwifungsi RUU TNI! Hentikan, hentikan Bapak Ibu!”
Andrie dan beberapa aktivis Koalisi Masyarakat Sipil menilai pembahasan yang tidak transparan ini berpotensi menyelundupkan aturan-aturan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Namun upaya ketiga aktivis itu kemudian direspons dua staf berbaju batik dengan mendorong keluar mereka hingga terjatuh. Tak hanya itu, Andrie juga dikriminalisasi, usai dirinya dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh sekuriti Hotel Fairmont berinisial RYR.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi menjelaskan dalam laporannya, pelapor menerangkan peristiwa bermula pada Sabtu (15/3/2025) sekitar pukul 18.00 WIB. Saat itu, ada tiga orang mengaku dari Koalisi Masyarakat Sipil masuk ke Hotel Fairmont.
"Kemudian kelompok tersebut melakukan teriakan di depan pintu ruang rapat pembahasan revisi UU TNI agar rapat tersebut dihentikan karena dilakukan secara diam-diam dan tertutup," tutur Ade Ary.
Atas peristiwa itu, sekuriti membuat laporan ke Polda Metro Jaya. Pelapor merasa ada pelanggaran Pasal 172 KUHP dan atau Pasal 212 KUHP dan atau Pasal 217 KUHP dan atau Pasal 335 KUHP dan atau Pasal 503 KUHP dan atau Pasal 207 KUHP.
Protes Dijamin Konstitusi
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai tindakan protes damai yang dilakukan oleh sejumlah aktivis dalam momen rapat tertutup pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025) adalah legal dan konstitusional.
"Aksi mereka itu konstitusional dan legal karena bagian dari pelaksanaan hak warga untuk berpendapat, berkumpul secara damai, dan berekspresi," kata Usman kepada TheStanceID.
Dia menilai para aktivis menjalankan aksi itu dilakukan secara damai dan tidak menyerang orang maupun fasilitas acara. "Bukan seperti aksi pembubaran diskusi di Hotel Grand Kemang tahun lalu."
Usman juga menyoroti pelaporan aktivis ke pihak kepolisian dan menilainya sebagai bentuk tindakan kriminalisasi. "Jangan sampai pelaporan itu justru untuk mengaburkan substansi kritik yang disampaikan aktivis terhadap pembahasan RUU TNI."
Hal ini merujuk Laporan Amnesty International Indonesia beberapa tahun lalu yang merilis 328 aktivis masyarakat sipil termasuk warga biasa yang menyuarakan kritikan justru dikriminalisasi dan diintimidasi sejak awal pemerintahan Jokowi.
"Jadi 10 tahun terakhir ini demokrasi bener-bener mengalami regresi. Bahkan indeks demokrasi yang sangat kredibel seperti Freedom House sudah menempatkan Indonesia bukan lagi negara demokrasi tapi otokrasi," jelasnya.
Usman juga mengkritik langkah Komisi I DPR RI yang membahas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tertutup di sebuah hotel pada akhir pekan.
Dia menilai pembahasan di hotel mewah pada akhir pekan adalah janggal dan tidak sesuai dengan asas pemerintahan yang baik. Menurutnya, revisi UU TNI seharusnya dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik.
"Berlangsung di saat libur akhir pekan, memakai hotel mahal yang tidak konsekuen dengan anjuran efisiensi," ujar dia.
DPR Bantah Rapat Diam-Diam
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengeklaim proses pembahasan revisi Undang-Undang TNI antara DPR bersamadan pemerintah tidak dikebut dan tidak tergesa-gesa.
Selain itu, dia mengeklaim rapat Panja RUU TNI yang digelar pada akhir pekan lalu di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta pun sudah sesuai dengan lini masa pembuatan undang-undang sesuai peraturan yang berlaku.
Dia membantah rapat digelar diam-diam karena juga mengundang sejumlah pihak dari kementerian/lembaga terkait untuk membahas pasal-pasal dalam RUU TNI.
"Saya sampaikan bahwa tidak ada mengebut dalam UU RUU TNI seperti kita tahu bahwa RUU TNI sudah berlangsung dari beberapa bulan lalu. Itu kemudian dibahas di Komisi 1 termasuk kemudian mengundang partisipasi publik," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3/2025).
Disinggung mengenai alasan rapat digelar di hotel bintang lima, Dasco menyebut rapat itu memang diperlukan dan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahkan, Dia mengeklaim rapat sudah sesuai dengan semangat efisiensi anggaran pemerintah. "Kemarin saya lihat rencananya 4 hari disingkat menjadi 2 hari dalam rangka efisiensi."
Saat ini, proses pembahasan RUU TNI akan dilanjutkan oleh tim perumus dan tim sinkronisasi. Oleh mereka, sejumlah poin hasil pembahasan akan diteliti ulang sebelum disahkan pada dapat pleno. Dia belum memastikan kapan RUU TNI akan disahkan.
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, menargetkan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) bisa selesai sebelum masa reses DPR RI atau Jumat (21/3/2025) nanti.
Minim Partisipasi Publik
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai aksi protes sejumlah aktivis menjadi indikator bahwa DPR tidak transparan dalam melakukan pembahasan revisi UU TNI.
Akibatnya, muncul reaksi publik dan akademisi yang meminta pembahasan RUU TNI dihentikan dan dilakukan secara terbuka.
"Sampai sekarang kita sulit mengakses mana sebenarnya dokumen resmi atau pembahasan terakhir oleh para anggota DPR, mana bunyi pasal yang asli karena di beberapa media sendiri tersebar dengan versi yang berbeda-beda,” ujarnya dalam keterangannya.
Padahal, kata Zaenal, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengamanatkan harus adanya partisipasi publik dalam setiap pembuatan undang-undang.
Publik berhak untuk didengarkan, untuk diperkembangkan, dan untuk diberikan penjelasan sesuai dengan pasal 96 Undang-Undang terkait pembentukan peraturan perundang-undangan oleh DPR.
“Kenapa DPR yang sudah mengadopsi itu di pasal 96 dan kemudian tidak melakukan apa-apa berkaitan dengan undang-undang TNI? Pertanyaan besar itulah yang membuat kenapa ada pertanyaan soal apa yang sedang disembunyikan,” lanjutnya.
Zaenal menyoroti di berbagai undang-undang yang belakangan dibahas merupakan gejala kejar tayang sehingga tidak ada proses aspirasi memadai dari pemerhati dan publik.
Sehingga tak heran, undang-undang yang dihasilkan DPR mudah sekali diubah dan dibatalkan saat ada yang mengajukan uji materi di MK. Misalnya UU MK, UU Cipta Kerja, dan UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
"Saya khawatir ini jadi alasan bagi pembentuk UU: kami buat serampangan, seburuk-buruknya, kalau ada problem silahkan bawa ke MK," kata pakar hukum UGM ini. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.