Resmi jadi ‘Negara Mitra’ BRICS, Ini Manfaat & Risikonya Bagi Indonesia

Prabowo perlu mewaspadai dampak bergabungnya Indonesia ke BRIC terhadap perimbangan geopolitik.

By
in Big Shift on
Resmi jadi ‘Negara Mitra’ BRICS, Ini Manfaat & Risikonya Bagi Indonesia
Bendera Indonesia berkibar bersama negara anggota dan negara mitra BRICS dalam KTT Kazan, Rusia pada Jumat (25/10/2024). Sumber: Sputnik

Jakarta, TheStanceID - Indonesia resmi diterima sebagai 'Negara Mitra' blok Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan (Afsel), dll (BRICS+). Pemerintahan Prabowo Subianto perlu mewaspadai dampaknya bagi perimbangan geopolitik Indonesia.

Pendaftaran itu dilakukan melalui penyampaian surat ketertarikan atau expression of interest oleh Menteri Luar Negeri Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia pada Kamis (24/10/2024).

Sebetulnya, pada 2023 Indonesia telah mendapat tawaran dari BRICS untuk bergabung, tetapi Presiden RI ke-7 Joko Widodo merespon dengan mengatakan akan mengkaji terlebih dahulu manfaatnya. Intinya, tak ingin tergesa-gesa.

BRICS merupakan blok ekonomi beranggotakan negara-negara besar yang pasarnya sedang bertumbuh pesat (emerging market). Nama BRICS diambil akronim negara inisiatornya yakni Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa (Afsel).

Misinya adalah mengoordinasikan dan memuluskan kerja sama ekonomi negara-negara tersebut, dan meningkatkan produktivitas ekonomi mereka agar sejajar dengan negara-negara maju.

Sebab, saat ini, kekuatan ekonomi global didominasi oleh negara-negara maju yang berasal dari Amerika, Eropa Barat, dan beberapa sekutu mereka dari Asia (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura).

Di tataran praktis mereka berkepentingan untuk menjaga dominasi mereka melalui berbagai cara, misalnya dengan menjerat negara lain lewat utang, sebagaimana ditulis John Perkins dalam buku Confessions of an Economic Hit Man (2004).

Empat Asean Bergabung

Dalam KTT BRICS ke-16, Indonesia secara resmi diakui sebagai negara mitra BRICS bersama 12 negara lainnya, termasuk negara anggota ASEAN lainnya yakni Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Menlu Sugiono, yang merupakan anak ideologis Prabowo, menjelaskan bahwa masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS adalah perwujudan kongkret dari politik luar negeri bebas aktif.

"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum," tegasnya dikutip CNNIndonesia pada Jumat (25/10/2024).

Di samping itu, Sugiono menjelaskan bahwa prioritas BRICS sama dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain mengenai ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Suara Belahan Selatan

Sugiono memandang penting forum BRICS, terlebih di tengah krisis yang tengah dialami dunia. Dia memberi contoh persoalan Palestina dan Lebanon yang seringkali diabaikan oleh Blok Barat, kemarin dibahas dalam pertemuan KTT BRICS.

"Saat para pemimpin Global Selatan bertemu untuk membahas masa depan yang lebih baik, saudara-saudari kita di Palestina dan Lebanon sedang mengalami mimpi buruk terburuk mereka," ucapnya.

Dalam kesempatan itu, Indonesia juga menyerukan gencatan senjata segera. Setahun sejak perang Israel di Gaza sedikitnya 5% penduduk Gaza tewas, 72% rumah hancur, 84% fasilitas kesehatan rusak atau hancur, dan sistem pendidikan runtuh.

Sebanyak 36 negara yang menghadiri BRICS+ di Kazan Rusia dalam komunikenya yang berjudul ‘Deklarasi Kazan’ menyerukan pembentukan negara Palestina, untuk merealisasikan solusi dua negara sebagaimana resolusi PBB:

“Mendukung keanggotaan penuh negara Palestina di PBB dalam konteks komitmen yang tak tergoyahkan terhadap visi Solusi Dua-Negara.”

Dalam deklarasi yang sama, 12 negara lain yang diterima sebagai ‘ Negara Mitra’ adalah Malaysia, Thailand, Vietnam, Turki, Algeria, Belarusia, Kuba, Bolivia, Uzbekistan, Kazakhstan, Nigeria, dan Uganda.

Dengan status ini, Indonesia dan kedua belas negara tersebut selangkah lagi menjadi anggota tetap BRICS.

Menjaga Keseimbangan Geopolitik

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai positif rencana Indonesia bergabung dengan BRICS karena memberikan posisi strategis dalam menjaga keseimbangan hubungan negara maju dan negara emerging market.

Negara maju direpresentasikan oleh Organisasi Pembangunan dan Kerja-Sama Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD), sementara negara emerging market direpresentasikan oleh BRICS+.

"Menurut saya, bagus juga Indonesia bergabung dengan BRICS agar Indonesia tidak didominasi oleh negara-negara OECD. [Dengan begitu], Indonesia juga bisa menjaga jarak yang sama antara negara-negara yang tergabung dengan OECD dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS," ujar Hikmahanto kepada TheStanceID, Sabtu (26/10/2024).

BRICS juga dianggap sebagai langkah baik untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada dolar, yang selama ini mendominasi ekonomi global.

"Indonesia mungkin melihat OECD sudah tidak sekuat pada masa lalu karenanya perlu masuk ke BRICS di mana kekuatan pasarnya sangat luar biasa dan mampu menjadi penyeimbang OECD," ujarnya.

Manfaat bagi Indonesia

Menurut Hikmahanto, yang terpenting keputusan ini harus bisa membawa keuntungan bagi kepentingan nasional dan bukan sebaliknya.

Salah satu manfaat yang bisa didapatkan dari BRICS adalah akses terhadap minyak mentah Rusia dengan harga murah. Selama ini minyak mentah asal Negeri Beruang Merah itu diembargo Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.

"Nah AS kan tidak membolehkan Indonesia untuk beli dari Rusia karena serangan Rusia ke Ukraina. Padahal Rusia, karena diembargo oleh negara-negara Eropa, tidak punya pembeli dan bersedia untuk menjual dengan murah" kata Hikmahanto.

Keuntungan-keuntungan seperti ini menjadi sangat penting mengingat beban negara untuk subsidi BBM sudah sangat besar. Dengan pasokan minyak berharga murah dari Rusia, pengeluaran negara dapat sedikit berkurang.

"Karena kepentingan nasional kita adalah kita bisa membeli minyak yang sudah di-refine itu dengan harga murah supaya negara tidak terbebani dengan subsidi yang cukup besar kepada rakyatnya," jelas Hikmahanto.

Waspadai Dominasi China

Namun Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai ada risiko tertentu bila Indonesia bergabung BRICS+, salah satunya terkait ketergantungan kepada China.

"Tanpa BRICS, dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi China sudah sangat besar. Impor Indonesia dari China melonjak 112,6% dalam 9 tahun terakhir, dari US$29,2 miliar pada 2015 menjadi US$62,1 miliar pada 2023," ujar Bhima kepada TheStanceID.

Sementara itu, investasi China di Indonesia melonjak 11 kali pada periode yang sama. Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu pengutang utama kepada China, melalui program Belt and Road Initiative (BRI), pada 2023.

Dengan demikian, keputusan bergabungnya Indonesia ke BRICS bisa mempengaruhi akses Indonesia ke OECD. Jika negara anggota OECD mengucilkan Indonesia karena bergabung BRICS+, maka peluang bermitra dengan grup tersebut bakal mengecil.

"Dibandingkan dengan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi, sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju. Selain itu, mengingat grup OECD memiliki anggota lebih besar sehingga dirasa lebih penting karena perlu mendiversifikasi mitra yang lebih luas selain dari China." pungkas Bhima. (est)