Jakarta, TheStanceID - I Nyoman Sukena tak bisa menyembunyikan emosinya. Ia dan keluarganya menangis tersedu sedan, meluapkan kegembiraan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Bali mengabulkan permohonan penangguhan penahanannya.

Nyoman Sukena adalah terdakwa 'kasus Landak Jawa' yang viral itu. Hakim mengabulkan penangguhan penahanannya setelah ada intervensi dari ranah politik, berupa dua surat permohonan dari anggota DPR Rieke Diah Pitaloka dan Kejaksaan Tinggi Bali.

Ketua Majelis Hakim PN Denpasar Ida Bagus Bamadewa Patiputra bilang mempertimbangkan pengakuan terdakwa bahwa dia tidak tahu dan tidak pernah mendapat sosialisasi dari lembaga terkait bahwa Landak Jawa adalah satwa yang dilindungi.

Terdakwa juga menyatakan sangat menyayangi hewan peliharaannya seperti mencintai keluarganya sendiri. Hal serupa juga dilakukan seluruh anggota keluarganya.

Namun, hukum positif tidak mempertimbangkan faktor tati tayang. Nyoman Sukena diproses sejak Maret 2024. Dia dinilai melanggar UU RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE).

Setelah viral sebulan terakhir, kasus ini pun mencuri perhatian publik. Ungkapan “pedang hukum tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah” ramai disuarakan.

Nyoman Sukena seketika berubah menjadi ikon wong cilik yang terzalimi, karena terancam lima tahun penjara hanya gara-gara memelihara empat ekor landak.

Narasi pun merembet ke ranah politk. Warganet mulai membandingkannya dengan dugaan gratifikasi Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, yang tak ditindaklanjuti oleh penegak hukum bahkan setingkat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keadilan Bermata Terbuka

Di Indonesia, Thermis seolah-olah sudah kehilangan kain penutup matanya. Sosok mitologi Dewi Keadilan selama ini digambarkan memegang pedang di tangan kanan dan timbangan di tangan kiri, sementara kedua matanya tertutup kain.

Mata yang tertutup kain menandakan bahwa Dewi Keadilan memberikan perlakuan hukum yang sama kepada semua orang, tanpa melihat siapa yang jadi pesakitan. Pedang dijatuhkan kepada yang bersalah, tanpa pandang bulu. Obyektif, agar hasil timbangan benar-benar adil.

Terlepas dari realita akan tumpulnya pedang Thermis yang setiap hari kita saksikan karena adanya faktor politik di Indonesia, babak akhir kasus “Landak Jawa” ini menunjukkan bagaimana politik dengan mudah mempengaruhi proses penegakan hukum.

Intervensi anggota DPR di kasus Nyoman Sukena justru membuktikan bahwa kain penutup mata Thermis, di Indonesia, mudah dilepas. Artinya, supremasi hukum ternodai.

Penangguhan proses hukum atas pidana konservasi alam ini bisa dibilang tidak adil, dari kaca mata aktivis perlindungan satwa. Mengapa? Karena Indonesia bisa dibilang darurat kepunahan flora dan fauna.

Surga Fauna yang Terancam

Indonesia adalah istana, bukan hanya rumah, bagi fauna di bumi, sebagaimana diulas ProFauna. Dengan luas daratan 1,9 juta kilometer persegi, atau "cuma" 1,3% dari tanah di dunia, bumi Nusantara menampung sekitar 300.000 satwa, atau setara dengan 17% satwa di dunia.

Ada lebih dari 500 jenis mamalia, lebih dari 1.500 jenis burung, dan 45% dari seluruh jenis ikan di dunia dapat ditemukan di perairan Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 1.300 di antaranya sudah masuk kategori terancam punah atau rentan mengalami kepunahan.

Data terbaru International Union for Conservation on Nature (IUCN) per 2021 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 221 spesies hewan yang sangat terancam punah (critically endangered), 366 spesies hewan terancam punah (endangered), dan 672 spesies hewan yang rentan (vulnerable).

Tiga spesies baru saja dinyatakan punah, yakni Ikan Belida (Chitala lopis) Jawa--yang belakangan ditemukan lagi sehingga statusnya berubah menjadi terancam punah, tikus besar di pulau Timor (Coryphomys buehleri), dan udang air tawar di Jawa (Macrobrachium leptodactylus).

Maka, kebijakan pemerintah dan sikap tegas di kasus Nyoman Sukena sangatlah berdasar. UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem harus dibuat, yang kemudian ditegakkan secara konsisten seperti di kasus Landak Jawa. Keanekaragaman hayati perlu dijaga untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Menurut IUCN, sekitar 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, 32 jenis amfibi, dan 140 jenis satwa lainnya di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat rentan. Bahkan, ada 69 spesies yang dinyatakan sebagai kritis, 197 spesies sebagai terancam, dan 539 jenis sebagai rentan.

Akar Persoalan: Sosialisasi Lemah

Problemnya kemudian terletak pada aspek sosialisasi. Sebuah kebijakan publik hanya akan efektif jika masyarakat selaku obyek hukum tersebut mawas atau mengerti tentang pokok-pokok yang harus mereka patuhi. Ini yang membuat kasus Landak Jawa jadi dilematis.

Nyoman Sukena mengaku tak tahu dan tak pernah melihat sosialisasi bahwa Landak Jawa adalah hewan langka yang tidak boleh dipelihara oleh orang awam. Dia tidak pernah melihat daftar hewan apa saja yang berstatus langka dan dilindungi.

Sementara, Pasal 21 ayat 2 a juncto Pasal 40 ayat 2 UU RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE) itu tegas mengatakan:

Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.

Meskipun niat Nyoman Sukena--menurut pengakuannya--adalah untuk menolong, memelihara binatang liar yang berstatus dilindungi tidaklah diperbolehkan karena sama artinya dia sedang menciptakan ekosistem yang mendukung kepemilikan hewan yang dilindungi oleh masyarakat.

Di mana ada permintaan, suplai akan terbentuk. Jika memelihara hewan langka ditolerir dan bahkan menjadi budaya, maka bisnis baru pun berkembang: perburuan liar.

Saat ini pun Landak Jawa sering diselundupkan sebagai bahan kuliner, sebagaimana dilaporkan Betahita. Penyidikan kasus Landak Jawa justru perlu dijalankan untuk membuktikan bahwa Nyoman Sukena bukanlah bagian dari mereka yang mengeksploitasi binatang langka tersebut.

Ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, agar tidak seenaknya memelihara hewan dari alam liar, apalagi menyantapnya. Ketidaktahuan mereka inilah yang menjadi prima causa di balik dilema penegakan hukum atas pelanggaran serius Nyoman Sukena.

Pada titik ini, kita berharap kasus Landak Jawa yang menjadi viral, justru meninggalkan pesan yang tepat. Bukan hanya soal hukum yang mudah diintervensi oleh politisi, atau pedang hukum yang tajam ke bawah, melainkan lebih pada: jangan berani-berani memelihara hewan liar sebelum memahami list IUCN.

Catatan terpenting lainnya: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) ngapain aja? Nyoman Sukena adalah korban kegagalan mereka menjalankan fungsi "penyuluhan konservasi sumber daya alam dan ekosistem." (agd)