Banyak Festival Jazz Tak Lagi Nge-Jazz
Indra Lesmana menyebut festival jazz telah kehilangan jati dirinya ketika berlebihan memasukkan musisi dari genre lain. Promotor beralasan kehadiran musisi pop di panggung jazz bukan bentuk “pengkhianatan”, melainkan siasat agar festival jazz tetap relevan.

Jakarta, TheStanceID – Jagat musik tanah air heboh menyusul kritikan tajam musisi jazz senior, Indra Lesmana, tentang penyelenggaraan festival jazz yang tak lagi nge-jazz, karena promotor banyak memasukkan penyanyi pop atau genre musik lain untuk menjadi magnet penonton.
Bahkan, Indra Lesmana menyebut festival musik jazz telah kehilangan jati dirinya.
“Semakin sedikit musisi jazz tampil di festival jazz. Tanpa jazz, festival jazz kehilangan jiwanya,” tulisnya lewat Instastory di akun Instagram @indralesmana, pada Rabu, 9 Juli 2025.
Putra dari legenda jazz tanah air Jack Lesmana ini berpendapat, tindakan seperti itu justru membawa dampak kurang baik akan masa depan musik jazz di Tanah Air.
Pasalnya, musik jazz yang seharusnya diberi tempat seluas-luasnya, justru kurang mendapat sentuhan eksplorasi karena promotor menjejali panggung dengan penyany pop.
Indra yakin musik jazz sebenarnya berkembang di tangan seniman-seniman muda. Namun, mereka tidak mendapat tempat ketika festival musik jazz justru memasukkan musisi dari genre musik lain secara berlebihan.
"Jazz belum mati. Jazz sedang berevolusi. Ada banyak seniman muda yang membawa napas baru ke dalam jazz. Saat ini justru sedang banyaknya talenta jazz hebat-independen, kreatif, dan penuh visi. Dukung mereka. Beri panggung," katanya.
Menurut musisi 59 tahun itu, festival jazz harus terasa nuansa jazz-nya, supaya penamaan festival jazz benar-benar dapat menyentuh esensinya.
"Kita butuh festival yang berani, festival yang memberi ruang bagi seniman untuk bernapas, dan memberi kesempatan bagi penonton untuk merasakan sesuatu yang lebih mendalam," katanya.
Jangan Paksakan Pakai Nama "Jazz Festival"
Indra Lesmana juga menyampaikan pesan agar penyelenggara event jazz tidak hanya memikirkan aspek komersiali semata, tapi juga menyentuh sampai kedalam jiwa, sesuai dengan esensi jazz itu sendiri.
Ayahanda dari musisi Eva Celia ini mengaku tidak masalah sebenarnya bila promotor meracik deretan musisi secara acak atau gado-gado lintas genre. Namun, dia minta mereka bertanggung jawab apa atas kemasan dengan isi di dalamnya.
"Silakan saja bikin festival, tapi tetap bertanggung jawab terhadap apa yang kita suguhkan. Kalau memang tidak relevan untuk dinamakan Jazz Festival, jangan dipaksakan," katanya.
Ia menilai, pertunjukan musik yang menggunakan embel-embel jazz, namun faktanya musisi yang tampil dari genre gado-gado, hanya akan menyesatkan penonton, mengikis visibilitas seniman jazz, dan melemahkan identitas budaya jazz.
“Kepada semua promotor yang membaca ini: kalian punya kekuatan untuk membentuk masa depan jazz. Gunakan dengan baik. Biarkan lineup kalian berbicara bukan hanya kepada pasar, tetapi juga kepada jiwa," kata Indra.
Promotor : Undang Musisi Pop ke Panggung Jazz Bukan Pengkhianatan
Menanggapi kritikan tajam dari musisi jazz senior Indra Lesmana yang menyebut festival jazz kini “tidak lagi nge-jazz”, promotor Prambanan Jazz Festival, Anas Syahrul Alimi, buka suara.
Anas Alimi menegaskan kehadiran musisi pop di panggung jazz bukan bentuk “pengkhianatan”, melainkan siasat agar festival jazz di Tanah Air tetap hidup.
"Maka jika kami mengundang musisi pop ke panggung jazz, itu bukan pengkhianatan. ltu siasat agar festival ini hidup dan semua yang hidup di baliknya tetap makan," tulis Anas Alimi di Instagram @anas_alimi, Kamis, (10/7/2025).
Anas lalu mengambil contoh: di North Sea Jazz, Herbie Hancock berbagi panggung dengan John Legend. Di Montreux Jazz Festival, Prince dan Radiohead berbagi dengan Ella Fitzgerald. Di Umbria Jazz Festival, Sting satu frame dengan Wayne Shorter.
"Itu bukan kekeliruan. Itu keberanian merayakan kompleksitas," tulis Anas.
Dirinya berpandangan, untuk menjaga keutuhan ekosistem terkadang dibutuhkan kompromi.
"Kami tidak sedang membela. Hanya mencatat bahwa menjaga keutuhan ekosistem kadang butuh kompromi. Dan kompromi bukan dosa, selama dilakukan dengan cinta dan kesadaran etis," lanjutnya.
Sebagai promotor musik, Anas pun menekankan bahwa pihak dan seluruh timnya tetap menghormati nilai-nilai jazz. Namun, ia mengaku tak bisa menutup mata terhadap realitas di lapangan, yang menuntut keberlangsungan hidup banyak pihak.
"Kami tetap menghormat pada jazz. Tapi kami juga menghormat pada listrik yang menyala, pada nasi kotak crew, pada soundman yang belum tidur 32 jam, dan pada kalian yang datang dari luar kota dengan harapan menemukan sedikit kebahagiaan," kata Anas.
Baca Juga: Perlindungan Konsumen Pertunjukan Musik di Indonesia Perlu Diupdate
Dalam unggahannya, Anas pun minta maaf apabila gelaran jazz yang dia kelola tidak seperti yang diharapkan para kritikus musik jazz. Namun, ia juga berharap agar Prambanan Jazz Festival tetap bisa menjadi ruang pertemuan berbagai spektrum musik di masa mendatang.
"Karena itu, sekali lagi: Maafkan kami yang selalu bersalah setiap Juli. Tapi izinkan kami terus bertahan, agar tahun depan kita bisa bersalah bersama-sama," katanya.
Untuk diketahui, pergelaran Prambanan Jazz Festival 2025 digelar 4-6 Juli 2025. Perhelatan musik ini menghadirkan puluhan penampil. Mulai dari Kenny G sebagai ikon musisi jazz dunia, eaJ Park (penyanyi asal Korea yang sekarang berkiprah di Kanada), Dewa 19 feat Ello, hingga grup musik kasidah Nasida Ria.
Prambanan Jazz Festival juga memberi dampak ekonomi yang luas. Tahun ini tercatat 76 ribu orang datang menyaksikan pergelaran musik di lokasi heritage Candi Prambanan tersebut.
Marak Festival Jazz di Indonesia
Musik Jazz telah memiliki tempat tersendiri bagi penggemarnya. Beruntungnya, Indonesia memiliki banyak festival jazz yang tersebar di berbagai daerah dengan berbagai konsep dan lokasi yang berbeda sehingga menghadirkan suasana dan sensasi berbeda saat menikmati alunan musik jazz.
Mulai dari Jazz Gunung, yang merupakan festival musik jazz etnik yang berskala Internasional. Banyak musisi nasional ataupun internasional turut serta memeriahkan festival ini.
Menariknya, festival ini diselenggarakan di panggung terbuka dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Suasana alam pegunungan Bromo, Tengger, dan Semeru yang sangat indah, menjadi latar belakang festival ini sehingga memberikan kesan mendalam bagi para musisi dan penonton.
Selain Jazz Gunung, di Indonesia terdapat beberapa event jazz yang juga menjadikan panggung terbuka di pegunungan sebagai venue-nya antara lain Jazz di atas Awan Dieng Culture Festival dan Ijen Summer Jazz.
Ada juga Mahakam Jazz Fiesta, sebuah festival musik jazz tahunan yang diadakan di tepi Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur.
Meski sudah banyak festival jazz di tanah air, event Jazz Goes to Campus (JGTC) yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) tercatat sebagai Festival jazz tertua di Indonesia.
JGTC pertama kali diadakan pada tahun 1977 dan terus berlanjut hingga kini, menjadikannya festival jazz tertua yang diselenggarakan oleh mahasiswa di Indonesia.
Meskipun diselenggarakan oleh mahasiswa, JGTC juga sering menghadirkan musisi jazz ternama dari berbagai negara, menjadikannya acara yang berkelas internasional.
Sedangkan predikat festival jazz terbesar di Indonesia masih dipegang Jakarta International Java Jazz Festival, yang tahun ini sudah masuk edisi ke-20.
Penyelenggaraan Festival Jazz di Luar Negeri
Sementara Festival jazz di luar negeri juga sangat beragam, dari yang berskala besar dan internasional hingga yang lebih kecil dan lokal, dengan berbagai genre dan gaya musik jazz yang ditampilkan.
Beberapa festival jazz terkenal di dunia diantaranya adalah Montreux Jazz Festival, Montreal International Jazz Festival, dan Newport Jazz Festival di Kanada.
Festival-festival ini tidak hanya menampilkan musik, tetapi juga menjadi ajang pertemuan budaya dan pertukaran ide bagi musisi dan penggemar jazz dari seluruh dunia.
Festival International de Jazz de Montréal di Kanada tercatat sebagai Festival jazz terbesar di dunia, yang mampu menarik lebih dari 2 juta pengunjung setiap tahunnya dengan menampilkan sekitar 650 konser selama 10 hari.
Sedangkan di Jepang, ada Jozenji Street Jazz Festival. Sebuah Festival jazz jalanan yang menampilkan berbagai genre musik, dengan lebih dari 750 band tampil di 90 panggung di seluruh kota.
Diselenggarakan pada sepanjang akhir minggu kedua September, festival berusia tiga dekade ini mampu menarik hampir 700 ribu pengunjung selama dua hari penyelenggaraan.
Tak bisa dipungkiri, festival dan konser musik terbukti dapat membantu pergerakan roda ekonomi suatu negara. Berbagai festival musik di dunia memberikan pelajaran bagaimana idealisme musik jazz berdampingan dengan semangat komersialisasi.
Tinggal soal komposisi saja.
Memang bukan hal aneh ketika musisi pop hadir di festival jazz.
Tapi ketika festival jazz lebih banyak menampilkan musisi pop atau genre lain, sedangkan musisi jazz-nya justru minoritas, maka penamaan festival musik jazz memang cuma taktik dagang, strategi jualan untuk "festival musik gado-gado".
Dan taktik semacam itu memang cenderung berdampak negatif bagi perkembangan musik jazz itu sendiri. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.