Kamis, 17 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Badai PHK Melanda Industri Pers, Bisnis Media Makin Tertekan

Dewan Pers mencatat hingga 2024 sebanyak 1.200 pekerja media di-PHK. Penurunan pendapatan perusahaan media jadi penyebab.

By
in Pop Culture on
Badai PHK Melanda Industri Pers, Bisnis Media Makin Tertekan
Ilustrasi PHK Massal di industri Media. (Sumber : Dailynotif.com)

Jakarta, TheStanceID - Video perpisahan presenter Githa Nila Maharkesri dengan program "Kompas Sport Pagi" yang ia bawakan selama 12 tahun viral di media sosial.

Air mata kesedihan Githa saat mengakhiri acara tersebut menyentuh banyak pemirsa dan memicu dukungan serta keprihatinan dari masyarakat dan warganet terhadap nasib para pekerja media.

Meski Githa kemudian buru-buru menegaskan, tangisnya bukan karena terkena layoff alias dipecat, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri media massa nasional belakangan ini memang makin marak.

Tidak Semua Perusahaan Media Melaporkan PHK Pekerjanya

wartawan

Tren ini bukan fenomena baru, namun kecepatannya mengejutkan.

Dewan Pers baru-baru ini menerima informasi bahwa gelombang PHK masih terus berlangsung di sejumlah media.

Sebanyak 150 pekerja di Kompas TV kehilangan pekerjaannya, CNN Indonesia (TV) 200 orang, TVOne 75 orang, dan Elang Mahkota Teknologi (Emtek) yang menaungi SCTV dan Indosiar sebanyak 100 orang.

Pada 2024 lalu, juga sempat terjadi PHK di ANTV, Net TV, MRA Media dan Republika. Jumlah ini sangat mungkin bertambah, mengingat tidak semua media perusahaan media membuka informasi mengenai PHK di perusahaan mereka.

"Tidak semua media melaporkan bahwa telah melakukan PHK," kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (3/05/2025).

"Bisa jadi, media yang terverifikasi pun sebenarnya sudah tidak lagi beroperasi," tambahnya.

Berdasarkan data yang dihimpun TheStanceID, hingga Mei 2025, setidaknya 12 perusahaan media telah melakukan PHK

Media yang paling banyak memberhentikan karyawannya adalah Media Nusantara Citra (MNC) Group, yang menutup delapan kantor bironya di daerah seperti Bali, Makassar, Semarang, Bandung, dan Surabaya.

Sepanjang 2023 hingga 2024, Dewan Pers mencatat ada sekitar 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, terkena PHK.

Penyebab PHK Massal

Ninik mengatakan, penurunan pendapatan perusahaan media adalah faktor utama penyebab PHK ini.

"Sekitar 75 persen pendapatan iklan nasional saat ini dikuasai oleh platform digital global dan media sosial, sehingga banyak media lokal kehilangan sumber pemasukan," kata Ninik.

Belakangan, efisiensi pemerintah, termasuk memangkas atau menghilangkan belanja iklan kementerian/lembaga dan BUMN juga menjadi pukulan telak bagi industri media.

Senada, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI Jaya, Kesit B Handoyo, menilai gelombang PHK ini tidak lepas dari pergeseran pola belanja iklan. Menurutnya, sebagian besar anggaran iklan kini dialihkan ke media sosial dan para influencer.

“Dulu, iklan adalah nyawa media. Kini, anggarannya justru mengalir ke platform digital dan para influencer,” kata Kesit, Senin, (5/5/2025).

Ia menyebutkan bahwa banyak media tidak mampu bertahan akibat minimnya suplai dana dari iklan.

Kondisi industri media saat ini juga makin rapuh karena ketatnya persaingan serta dominasi arus informasi dari media sosial. Imbasnya, banyak wartawan terkena PHK. Bahkan ada media yang gulung tikar.

“Bukan hanya koran yang berhenti terbit, media online pun mulai terseok-seok,” katanya.

Respon Pemerintah

Meutya Hafid

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, mengakui kondisi industri media saat ini sedang tidak sehat sehingga pemerintah merasa perlu hadir untuk menjamin keberlangsungan media, baik dari sisi kualitas jurnalistik maupun keberlanjutan bisnisnya.

Menyikapi kondisi ini, Ia berjanji akan segera berkoordinasi dengan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, untuk membahas PHK massal terhadap jurnalis di sejumlah media massa.

"Insya Allah dalam waktu dekat kami akan bertemu. Koordinasi melalui telepon sudah kami lakukan dan mudah-mudahan segera ada solusi untuk membantu menyehatkan industri media," ujar Meutya (06/05/2025).

Tantangan Hadirnya AI

Wakil Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Suwarjono, menyatakan penggunaan artificial intelligence (AI) dalam industri media menjadi disrupsi ketiga yang tak kalah dahsyat.

Laporan terbaru Reuters Institute mengungkap bahwa penggunaan AI di ruang redaksi juga semakin meningkat. Sebanyak 87% newsroom di dunia telah mengadopsi Generative AI, baik secara penuh maupun sebagian, sebagai bagian dari proses transformasi digital mereka.

Alhasil, penggunaan sumberdaya manusia juga berkurang.

Suwarjono - AMSI

Sayangnya, penggunaan AI ini mengorbankan kualitas dan akurasi jurnalisme, hingga sering memperburuk penyebaran disinformasi.

Suwarjono juga menambahkan, jangankan untung, banyak perusahaan pers saat ini belum berhasil menutup pengeluaran operasional.

Karena itu, butuh model bisnis untuk membiayai jurnalisme independen. Misalnya iklan programatik berbasis ads network, iklan konten, event dan event organizer, agensi, bisnis out of media, bisnis riset, manajemen konten kreator hingga influencer.

Meski demikian, ia masih yakin media berita masih tetap dibutuhkan.

“Saya optimistis media berita berbasis jurnalisme ke depan akan sangat dibutuhkan di tengah arus informasi yang semakin blur di media sosial,” katanya.

Senada, Pakar komunikasi politik, Lasmery Rm Girsang, juga menilai bahwa media harus segera beradaptasi dengan ekosistem digital dan perkembangan teknologi AI.

Menurutnya, perubahan model bisnis harus dijawab dengan strategi baru agar media tetap bertahan.

“Kalau media tidak cepat menyesuaikan diri, kejatuhannya hanya tinggal menunggu waktu,” kata Lasmery.

Dampaknya Bagi Publik dan Demokrasi

Nany Afrida

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida khawatir sebagai pilar keempat demokrasi, banyaknya PHK jurnalis dan pekerja media akan berujung pada melemahnya pengawasan terhadap kekuasaan dan menyebabkan terbatasnya ruang publik kritis.

“Media adalah pilar keempat demokrasi. Banyaknya PHK bisa berarti pengawasan media dan jurnalis terhadap kekuasaan melemah, ruang publik kritis menyempit,” jelas Nany.

Selain itu, berkurangnya jumlah jurnalis setelah gelombang PHK massal ini akan dipakai oleh media untuk menjustifikasi konten siaran yang lebih sedikit, lebih pendek, atau bahkan hanya memutar ulang 'inventory'. Kualitas jurnalisme pun makin menurun.

Baca juga: PHK Massal di Media Massa & Lahirnya Angkatan Displaced Journalists

Saat ini pembaca memang bisa mendapatkan informasi secara gratis dan cepat via media sosial. Tapi tingkat akurasinya rendah, dan bahkan sering merupakan disinformasi.

Perubahan lanskap media tidak hanya berdampak pada PHK, tapi juga pada pembaca atau permisa. pada akses informasi yang lebih berkualitas. (est)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\