Alasan di Balik Donald Trump Ngebet Ambil Alih Terusan Panama
Panama mengenakan "tarif selangit" untuk AS. Trump menuding ada pengaruh China di jalur perairan tersebut.

Jakarta, TheStanceID - Presiden Amerika Serikat Donald Trump bernafsu memperluas wilayah Amerika Serikat (AS) dengan menguasai aset penting di negara lain. Salah satunya Terusan Panama yang selama seperempat abad dikendalikan warga Panama, Amerika Tengah.
Trump beralasan Panama mengenakan tarif selangit saat AS menggunakan terusan tersebut. Dia juga menyoroti pengaruh China yang meningkat atas jalur perairan tersebut.
Keinginan Trump mengambil alih Terusan Panama pertama kali dilontarkan pada akhir 2024 lalu. Ketika itu, Trump menganggap Panama telah melanggar perjanjian dengan AS karena membiarkan China hadir dalam pengelolaan Terusan Panama.
"Kami akan menuntut agar Terusan Panama dikembalikan sepenuhnya kepada Amerika Serikat, dengan cepat dan tanpa pertanyaan," kata Trump.
Presiden Panama, Jose Raul Mulino kemudian merespons bahwa Terusan Panama akan tetap milik Panama dan tegas menolak pernyataan Trump.
"Saya harus sepenuhnya menolak pernyataan yang dibuat oleh Presiden Donald Trump mengenai Panama dan Terusannya dalam pidato pelantikannya. Saya mengulangi apa yang saya katakan dalam pesan saya kepada bangsa pada 22 Desember. Terusan ini adalah dan akan tetap menjadi milik Panama," kata Mulino dalam pernyataannya di sosial media X.
Mulino menegaskan bahwa Terusan Panama adalah buah dari perjuangan generasi di negaranya berdasarkan perjanjian, dan bukan dari sebuah konsesi.
“Sejak saat itu, selama 25 tahun tanpa henti, kami telah mengelola dan memperluasnya secara bertanggungjawab untuk melayani dunia dan perdagangan, termasuk Amerika Serikat.”
Awal Mula Terusan Panama
Sejarah Terusan Panama dimulai jauh sebelum kedatangan kolonialis Eropa pada abad 16, saat wilayah ini dihuni berbagai suku pribumi, termasuk suku Ngäbe dan Buglé, yang menempuh jalur darat untuk berdagang di antara Samudera Atlantik dan Pasifik.
Pada tahun 1513, penjelajah Spanyol, Vasco Núñez de Balboa, menjadi orang Eropa pertama yang menyeberangi daratan Panama dan melihat Samudera Pasifik, menandai awal perhatian Eropa terhadap wilayah tersebut.
Selama era penjajahan Spanyol yang dimulai pada 1538, Panama menjadi pusat administrasi dan perdagangan penting. Ia berfungsi sebagai rute transit bagi Spanyol untuk mengangkut kekayaan dari Peru ke Eropa.
Karena jalurnya yang strategis, wilayah perairan ini kerap menjadi target para bajak laut di abad ke-17. Untuk menghindari risiko perompak di laut lepas, muncul ide untuk membangun terusan pada akhir abad ke-19.
Pemerintah Kolombia memberikan konsesi pembangunan proyek tersebut kepada Ferdinand de Lesseps, seorang insinyur Prancis yang sebelumnya membangun Terusan Suez di Mesir.
Sayangnya, proyek ini gagal total akibat penyakit malaria dan demam kuning yang melanda para pekerja. Selain itu, keuangan juga seret, sehingga Prancis menghentikan proyek tersebut, setelah menghabiskan banyak sumber daya dan nyawa pekerja.
80 Tahun di Bawah AS
AS lantas mengambil alih proyek pembangunan terusan pada tahun 1902 melalui negosiasi dengan pemerintah Kolombia demi mendapatkan hak pembangunan.
Namun, negosiasi tersebut gagal. AS yang berambisi mengendalikan Terusan Panama pun mendukung gerakan separatis di wilayah itu. Maka, pada 3 November 1903, lahirlah negara Panama yang kemerdekaannya disokong militer AS.
Sebagai bagian balas jasa dari peran AS atas kemerdekaan Panama, keduanya lantas menandatangani Perjanjian Hay-Bunau-Varilla di mana AS mendapat hak konsesi untuk membangun dan mengelola Terusan Panama.
Sebagai kompensasi, Panama akan menerima pembayaran US$10 juta (sekitar Rp162 miliar) per tahun. Pembangunan terusan tersebut berlangsung dari tahun 1904 hingga 1914, dan resmi dibuka pada 15 Agustus 1914.
Terusan ini segera menjadi jalur perdagangan penting, menghubungkan Samudera Atlantik dan Pasifik. Selama lebih dari 70 tahun, AS mengontrol Terusan Panama sebagai operator.
Namun, pada tahun 1977 Presiden Jimmy Carter meneken Perjanjian Torrijos-Carter di mana AS mengembalikan kontrol atas terusan tersebut kepada Panama paling lambat pada tahun 1999.
Akhirnya, pada 31 Desember 1999, AS secara resmi menyerahkan kontrol penuh Terusan Panama kepada pemerintah Panama, sekaligus menandai akhir 80 tahun kendalinya atas terusan tersebut.
Sejak itu, Panama menetapkan tarif masuk terusan secara komersial, tergantung kapasitas kargo. Dengan pendekatan demikian, Panama sukses mengelola terusan dengan pengguna kapal berbendara berbagai negara, terutama AS dan China.
Untun banyak, pada tahun 2016, pemerintah Panama memperluas terusan tersebut, sehingga kapal besar bisa melintasi terusan dan semakin meningkatkan peran Panama dalam perdagangan global.
Bendung China di Arktik dan Amerika Latin
Kekhawatiran yang semakin besar terhadap aktivitas dan pengaruh China di Arktik dan Amerika Latin, menjadi alasan terbesar AS di bawah Donald Trump untuk merebut kembali kontrol atas Terusan Panama.
Investasi China di pelabuhan dan infrastruktur serta fasilitas lainnya di kedua ujung Terusan Panama, baik di sisi Pasifik maupun Karibia, memicu kekhawatiran bahwa jalur pelayaran yang sangat penting tersebut rentan terhadap kebijakan politik China.
Hubungan China dan Panama mengental setelah Panama bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi China pada 2017. Kerja-sama ini akan meningkatkan kapasitas infrastruktur Panama dan memperkuat posisinya sebagai pusat logistik.
Mengikuti gertakan Trump, pada awal Februari 2025 lalu Presiden Panama Jose Raul Mulino mengumumkan bahwa Panama akan menarik diri dari BRI.
Mulino menegaskan bahwa keputusan ini tidak ada hubungannya dengan tekanan dari AS, meskipun banyak yang melihatnya sebagai langkah untuk memperbaiki hubungan dengan Washington.
Menanggapi keputusan tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyayangkan keputusan tersebut dan mengkritik AS karena terkesan menggunakan teknik pemaksaan untuk mempengaruhi keputusan Panama.
Lin menekankan bahwa kerjasama di bawah BRI telah memberikan manfaat bagi kedua negara dan berharap Panama akan mempertimbangkan kembali keputusan tersebut demi kepentingan jangka panjang kedua negara.
Ketegangan antara AS dan Panama diketahui semakin meningkat, khususnya setelah kunjungan Sekretaris Negara AS, Marco Rubio, yang meminta Panama untuk segera mengurangi pengaruh China di Terusan Panama.
Rubio juga menyebut bahwa keputusan Panama menarik diri dari BRI merupakan "langkah maju yang besar" untuk hubungan bilateral dengan AS.
Penggunaan Tekanan Militer & Ekonomi
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Raden Mokhamad Luthfi, menilai bahwa pernyataan Trump terkait Terusan Panama perlu disikapi dengan serius. Termasuk, kemungkinan penggunaan tekanan militer dan ekonomi.
Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang dari pernyataan Trump mengenai Terusan Panama.
Pertama, Trump merasa AS diperlakukan tidak adil terkait pengenaan tarif yang lebih tinggi terhadap kapal-kapal AS yang melintas di Terusan Panama, padahal AS berperan besar dalam pembangunan terusan tersebut lebih dari satu abad lalu.
“Namun hal ini bisa jadi tidak sepenuhnya benar karena Otoritas Pengelola Terusan Panama menetapkan tarif standar bagi kapal dari berbagai negara, yang disesuaikan dengan klasifikasinya,” ujar Luthfi saat dihubungi TheStanceID, Minggu (9/2/2025).
Kedua, tekanan Trump terhadap Panama meningkat terutama dengan adanya pembangunan pelabuhan untuk kapal-kapal China di sana. Apalagi, Panama resmi mengalihkan dukungan diplomatiknya dari Taipei ke Beijing pada 2017.
“Jika pengaruh China semakin besar di Panama, itu bisa membuka pintu bagi China untuk memperluas pengaruhnya di Amerika Tengah, wilayah yang secara tradisional menjadi area kekuatan Amerika Serikat,” sambung dia.
Ketiga, Luthfi menyoroti potensi ancaman bagi armada kapal Angkatan Laut AS jika China semakin kuat di Terusan Panama. Kehadiran China yang lebih besar di Panama dapat mempengaruhi keamanan operasi kapal perang AS yang melintas.
“China juga dikhawatirkan dapat memantau pergerakan kapal-kapal AS, yang memungkinkan mereka untuk memprediksi tujuan dan misi operasional kapal tersebut,” ungkapnya.
Dalam situasi konflik, Terusan Panama bahkan bisa menjadi sasaran sabotase atau serangan strategis, yang menghambat pergerakan kapal perang AS antara Samudera Atlantik dan Pasifik.
Lutfi menilai ancaman dari Trump terhadap Panama bisa dipahami sebagai bagian dari kompetisi atau rivalitas antara AS dan China di kawasan Amerika Tengah.
Sebaliknya, jika Trump benar-benar mempertimbangkan opsi militer terhadap Panama, hal ini bisa menjadi preseden berbahaya yang dapat mengancam keamanan dan perdamaian regional maupun global. (par)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.