Ungkit Luka Lama & Borok Big Pharma, Tim Trump Ancam Tinggalkan WHO
Berbagai kasus dan skandal membelit WHO. Trump dikabarkan tengah membawa Amerika meninggalkannya.

Jakarta, TheStanceID – Luka lama kambuh kembali. Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikabarkan akan membawa Amerika keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) setelah dia resmi menjabat.
Keputusan tersebut akan dirilis tepat pada hari dia menjabat, pada 20 Januari nanti, menurut laporan Financial Times (FT), mengutip beberapa sumber.
Akibatnya, WHO bisa kehilangan sumber pendanaan utamanya dan terganggu kemampuannya dalam menanggapi keadaan darurat global. Amerika menyumbang WHO senilai US$850 juta (Rp13,8 triliun), atau 16% dari total pendanaan tahunannya.
Langkah tersebut merupakan kebangkitan rencana pada tahun 2020 yang sempat tertunda karena Trump kalah pilpres. Saat itu, Trump menuduh WHO dipengaruhi China dan menolak untuk menerapkan reformasi yang dia tuntut.
Kala itu Trump membawa klaim—yang tak berdasar dan tak pernah berbukti—tentang kontrol Tiongkok di WHO dan menyalahkan Tiongkok atas pandemi Covid-19.
Ashish Jha, koordinator respon Covid-19 Gedung Putih di masa pemerintahan Joe Biden, menilai bahwa penarikan Trump dari WHO pada hari pertamanya menjabat adalah isyarat simbolis bahwa dia akan membalikkan kebijakan Biden.
Menurut dia, beberapa anggota tim Trump menganjurkan reformasi WHO dengan AS tetap berada di dalamnya, tetapi sepertinya mereka kalah melawan tim yang mendukung keluarnya AS secara total.
Pemerintahan Trump juga prihatin dengan kurangnya transparansi, laporan korupsi, dan kurangnya aturan main terkait kontribusi pendanaan antar negara di WHO. Benarkah tuduhan itu, berikut ini temuan TheStanceID.
WHO Setop Penyidikan Covid-19
WHO diketahui menangguhkan fase kedua penyelidikan ilmiah tentang asal-usul virus corona yang memicu pandemi Covid-19, dengan alasan ketidakmampuan untuk melakukan penelitian di Tiongkok karena “komplikasi politik dunia.”
Hal itu terungkap dalam laporan berjudul WHO Abandons Plan for Crucial Second Phase of COVID-origins Investigation, yang dimuat di jurnal ilmiah Inggris Nature, mengutip ahli epidemiologi.
“Para periset kecewa investigasi tidak berlanjut karena memahami bagaimana virus corona SARS-CoV-2 menginfeksi pasien pertama adalah penting demi mencegah pandemi di masa mendatang,” kata Angela Rasmussen, virolog di University of Saskatchewan, Kanada.
China dikabarkan tidak memberikan izin akses kepada para peneliti fase pertama yang telah memasuki Wuhan pada Januari 2021. Namun hingga kini WHO tidak menindaklanjuti penelitian tersebut.
“Tidak ada fase kedua,” kata MariaVan Kerkhove, epidemiolog di WHO, yang berbasis di Swiss kepada jurnal Nature.
Ada Big Pharma di Balik WHO?
Selain menghentikan penyidikan soal asal-muasal virus Covid-19, WHO juga melakukan langkah penanggulangan Covid-19 yang dikritik secara luas, dengan mendorong penguncian wilayah (lockdown) dan mewajibkan penggunaan masker.
Selain itu WHO juga menerapkan kebijakan vaksinasi kilat, dengan menggunakan vaksin yang masih dalam tahap pengembangan raksasa farmasi (big pharma). Kebijakan ini dinilai hanya menguntungkan mereka.
Dugaan adanya hubungan antara WHO dan raksasa farmasi sempat disorot pada tahun 2007, British Medical Journal melaporkan bahwa penasihat utama WHO memiliki hubungan dengan Big Pharma.
Meski WHO dalam statuta pembentukannya dilarang menerima dana sumbangan dari perusahaan farmasi, mereka diketahui telah berupaya menemukan cara untuk tetap mendapatkan uang dari perusahaan farmasi dengan cara elegan.
BMJ dalam reportasenya menemukan bahwa petinggi WHO Benedetto Saraceno pada Juni 2006 berupaya memberikan solusi agar Glaxo-Smith Klein (GSK) memberikan uangnya kepada EPDA (European Parkinson Disease Association) terlebih dahulu.
WHO tidak dapat menerima dana dari industri farmasi. Kantor hukum kami akan menolak sumbangan tersebut. WHO hanya dapat menerima dana dari lembaga pemerintah, LSM, yayasan dan lembaga ilmiah atau organisasi profesional. Oleh karena itu, saya menyarankan agar uang ini diberikan kepada EPDA dan pada akhirnya EPDA dapat mengirim dana yang akan memberikan faktur (dan pengakuan kontribusi) kepada EPDA, tetapi tidak kepada GSK.
WHO secara resmi membantah tuduhan yang diangkat di laporan berjudul “Who’s Funding WHO?” tersebut. Uniknya, bantahan tersebut diangkat oleh National Institute of Health (NIH), lembaga resmi milik Departemen Kesehatan Amerika
Dugaan Korupsi dan Foya-Foya
WHO sempat menjadi sorotan pada tahun 2017 karena menghabiskan US$200 juta per tahun untuk perjalanan mewah para pejabatnya, baik untuk pembelian tiket pesawat kelas bisnis maupun fasilitas hotel bintang lima.
Sebagai perbandingan, mereka hanya mengalokasikan US$71 juta untuk memerangi AIDS dan hepatitis, US$61 juta untuk mengatasi malaria, dan US$59 juta untuk meredam penyebaran tuberkolusis.
CBS memberitakan Direktur Jenderal WHO Margaret Chan pada saat kunjungan ke Afrika untuk mengatasi penyebaran Ebola memilih menginap di fasilitas presidential suite di Palm Camayenne Hotel. Tarifnya US$1.000 alias Rp16 juta per malam.
Padahal, pada saat yang sama mereka mengeluhkan kekurangan pendanaan untuk mengatasi krisis kesehatan global. Di sisi lain, kampanye efisiensi biaya perjalanan tidak banyak disambut di kalangan internal lembaga tersebut.
Sejak lama, WHO menerima kritikan atas kurangnya transparansi dalam penggunaan "kontribusi berharga" oleh negara-negara anggotanya. Setiap tahun lembaga ini menerima US$2 miliar dari pembayar pajak dari seluruh dunia.
Misalnya pada tahun 2011, WHO dikritik karena mengeluarkan biaya yang berlebihan untuk kampanye langkah penanganan pandemi flu H1N1, yang justru memicu kepanikan yang tidak perlu.
Direktur Jenderal WHO sekarang, yakni Tedros Adhanom Ghebreyesus, sempat diselidiki oleh pemerintah Ethiopia karena dugaan penggelapan dana publik dan kecurangan tender pada tahun 2023 ketika menjabat sebagai Menteri Kesehatan.
Africa Report mengabarkan penyidikan tersebut dilancarakan setelah terkuak data berupa 19.000 percakapan email yang mengindikasikan berbagai pelanggaran yang dilakukannya, mulai dari penggelapan dana publik hingga skandal seksual.
Bukan tidak kebetulan jika pada tahun 2021, di bawah pimpinan Ghebreyesus, 21 hingga 83 staf WHO dituduh melakukan pelecehan seksual selama menanggapi krisis Ebola di Republik Demokratik Kongo, seperti diberitakan Reuters.
Para korban bahkan dipaksa melakukan hubungan seksual tanpa pengaman, sehingga berujung kehamilan, yang kemudian dipaksakan untuk diaborsi. Ia menjadi pucuk gunung es dari buruknya pengelolaan WHO.
Wajar saja Trump berang. (ags)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.