eFishery Berbuat Cela, Semua Startup di Indonesia Bisa Kena Getahnya
Regulasi dan sistem audit startup perlu ditata, untuk memperbaiki kredibilitas pasca terkuaknya skandal eFishery.

Jakarta, TheStanceID — Startup unicorn eFishery diterpa skandal keuangan yang mengguncang dunia investasi perusahaan rintisan, di tengah tren anjloknya investasi dunia. Masa depan startup nasional dikhawatirkan terdampak.
Perusahaan ini diduga melakukan manipulasi laporan keuangan dengan membesar-besarkan pendapatan hingga hampir US$600 juta atau sekitar Rp9,74 triliun dalam periode 9 bulan yang berakhir pada September 2024.
Investigator mengungkap perbedaan signifikan antara laporan keuangan yang disampaikan kepada investor dengan kondisi sesungguhnya.
Dalam laporan resminya, eFishery mengklaim mencetak laba sebesar US$16 juta atau Rp259,9 miliar, tetapi analisis menunjukkan bahwa perusahaan sebenarnya merugi hingga US$35,4 juta atau Rp575 miliar.
Selain itu, pendapatan yang dilaporkan kepada investor mencapai US$752 juta atau Rp12,2 triliun, padahal pendapatan riil hanya sekitar US$157 juta atau Rp2,55 triliun.
Jika ditarik mundur dari tahun berdirinya hingga November 2024, total aset eFishery tercatat sebesar US$220 juta, di mana US$63 juta di antaranya berupa piutang. Perseroan merugi sebesar US$152 juta.
Dalam pernyataan resmi yang dikutip The Strait Times, eFishery menegaskan komitmen untuk menangani masalah ini dengan serius dan tetap menjunjung tinggi standar etika bisnis.
Terungkapnya Skema Manipulasi
Manipulasi keuangan ini bukan hal baru. Manajemen eFishery diduga telah menjalankan skema ini beberapa tahun terakhir. Mengklaim memiliki 400.000 lebih unit pakan ikan aktif, hasil investigasi menemukan jumlah aktual hanya sekitar 24.000 unit.
Laporan whistleblower yang diterima dewan direksi pada Desember 2024, memicu investigasi mendalam. Dewan kemudian menunjuk FTI Consulting untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Dalam proses investigasi, lebih dari 20 wawancara dilakukan dengan staf perusahaan, serta analisis komunikasi di berbagai platform seperti WhatsApp dan Slack. Temuan awal menunjukkan banyak ketidaksesuaian dalam pencatatan keuangan perusahaan.
Akibatnya, Gibran Huzaifah pun ditendang dari posisi Chief Executive Officer (CEO), dan investor mulai mencari strategi untuk mengamankan aset dan mengelola kas yang tersisa.
Pukulan bagi Indonesia
Kasus ini menjadi pukulan telak bagi ekosistem startup di Indonesia, yang digadang-gadang menjadi rumah inkubator perusahaan rintisan. Indonesia berada di posisi pertama Asia Tenggara, dengan memiliki 2.674 startup.
Meski eFishery mendapatkan dukungan dari investor besar seperti SoftBank Group dari Jepang dan Temasek dari Singapura, skandal ini berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap startup Indonesia di mata investor global.
Kasus eFishery menguak fakta bahwa transparansi dan akuntabilitas startup di Indonesia masih lemah, sehingga bisa mengurangi daya tarik ekosistem startup Indonesia bagi investor asing di masa mendatang.
Saat ini, proses investigasi masih berlangsung, dan ada kemungkinan angka laporan keuangan perusahaan akan direvisi lebih lanjut. PricewaterhouseCoopers (PwC) dan Grant Thornton telah dilibatkan dalam audit lanjutan.
Namun, kedua firma tersebut enggan memberikan komentar terkait temuan mereka sejauh ini.
Perburuk Kepercayaan Investor
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai skandal eFishery memperburuk kepercayaan investor asing terhadap industri startup nasional, terutama yang bergantung pada pendanaan luar negeri.
Apalagi, jumlah pendanaan yang diterima startup Indonesia juga menurun drastis di tengah ekonomi dunia yang masih tertekan. Ketika investor menjadi kian selektif, faktor transparansi pun menjadi pertimbangan penting.
"Pada tahun 2024, jumlah pendanaan yang didapatkan oleh seluruh startup di Indonesia turun 75%. Jika dibandingkan dengan tahun 2022, penurunannya mencapai 90% pada tahun 2024," ungkapnya kepada TheStanceID, Senin (27/1/2025).
Permasalahan lain yang memperburuk kepercayaan investor adalah lemahnya regulasi dan akuntabilitas laporan keuangan di Indonesia. Persoalan ini tidak hanya berdampak pada pendanaan startup, tapi juga menunjukkan perlunya perbaikan audit di Indonesia.
"Kredibilitas auditor Indonesia menjadi tantangan besar di mata investor global. Jika bahkan firma besar seperti PwC bisa dimanipulasi, kepercayaan terhadap sistem audit di Indonesia bisa terguncang," tambahnya.
Saatnya Perbaiki Sistem
Andri menyarankan Indonesia memperbaiki sistem regulasi dan pengawasan terhadap laporan keuangan. Ia mencontohkan sistem SOX (Sarbanes-Oxley Act) di Amerika Serikat (AS) yang mengatur ketat pelaporan keuangan perusahaan.
"Indonesia sudah mengikuti sistem ini, tetapi pertanyaannya, apakah punishment dalam regulasi yang ada sudah cukup proporsional dan memiliki efek jera?" tanyanya.
Andri mencontohkan Vietnam sebagai negara yang memiliki kepastian hukum investasi lebih baik. Menurutnya, Indonesia sering mengubah peraturan. Jika ada perlakuan khusus bagi investor tertentu, hal ini bisa menjadi preseden buruk.
Secara keseluruhan, Andri menilai Indonesia perlu menata kembali regulasi dan sistem audit untuk meningkatkan kredibilitas di mata investor. “Regulasi harus konsisten, tidak tergantung pada individu atau kepentingan tertentu," tegasnya.
Dengan demikian, investor tidak hanya melihat Indonesia sebagai pasar spekulatif di industri startup, tetapi benar-benar menjadi tempat investasi yang stabil dan menjanjikan. (par)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.