Jakarta, TheStance – Amerika Serikat (AS) mengumumkan penarikan udang beku merek Great Value asal Indonesia yang, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA), diduga terkontaminasi isotop radioaktif. Segawat apa kasusnya?

FDA mengumumkan bahwa sebuah perusahaan di Indonesia telah memasarkan makanan lautnya ke 13 negara bagian AS melalui peritel Walmart. Produk tersebut harus ditarik lantaran terdeteksi isotop radioaktif Cesium-137 atau Cs-137.

Produk bermerek Great Value itu sudah merambah berbagai negara mulai dari Alabama, Florida, Texas, Ohio. Kentucky, Louisiana, Missouri, Oklahoma, Virginia Barat, hingga Pennsylvania. Penarikan langsung dilakukan saat pengumuman dirilis.

FDA juga menyebut bahwa udang tersebut telah disiapkan, dikemas, atau disimpan dalam kondisi yang kurang bersih, sehingga terkontaminasi Cs-137 dan menimbulkan masalah lain. Namun saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Indonesia.

“Kami terus berkoordinasi untuk mencegah produk terkontaminasi mencapai konsumen, sekaligus bekerja sama dengan otoritas regulasi perikanan Indonesia untuk menyelidiki penyebab utama kontaminasi,” ujar FDA melalui keterangan resmi, Rabu (20/8/2025).

Produk udang yang dihasilkan PT Bahari Makmur Sejati (BMS) itu di bawah pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebut pihaknya sudah berkoordinasi untuk merampungkan polemik kontaminasi itu.

“Sudah masuk dalam pantauan. Jadi kita sekarang lagi berkoordinasi untuk menyelesaikan,” papar Taruna.

Pabrik Baja Diduga Jadi Sumber Kontaminasi

Rapat Koordinasi

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menyegel pabrik peleburan stainless steel milik PT Peter Metal Technology (PMT) di kawasan Industri Cikande, Banten. Pabrik itu diduga menjadi sumber paparan Cesium-137, yang mencemari udang Great Value.

Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH, Irjen Pol Rizal Irawan, menjelaskan bahwa bahan baku udang dari BMS Foods sejatinya tidak bermasalah.

Unsur radioaktif hanya ditemukan pada blower dan ventilator pabrik, itupun dengan kadar rendah di bawah ambang batas, dan sudah ditangani melalui proses dekontaminasi.

Investigasi kemudian menelusuri ke PT PMT, di mana terdeteksi tingkat radiasi sebesar 0,3–0,5 mikrosievert per jam, lebih tinggi dibanding kondisi normal yang berada pada kisaran 0,1 mikrosievert per jam.

Rizal menekankan bahwa pemerintah siap menjatuhkan sanksi baik administratif maupun pencabutan izin lingkungan, terhadap perusahaan tersebut.

“Langkah hukum perdata dan pidana juga tengah dipersiapkan untuk pihak yang terbukti lalai atau sengaja menimbulkan pencemaran," katanya.

KLH juga menyampaikan kepada masyarakat dan para nelayan agar tak cemas. Wilayah terdampak telah dilakukan sterilisasi, dampak lingkungan ditekan seminimal mungkin, dan produk pangan laut tetap dijamin sesuai standar keamanan tertinggi.

Risiko Rendah, Transparansi Jadi Kunci

Menanggapi dugaan kontaminasi radioaktif pada produk pangan laut Indonesia, epidemiolog sekaligus pakar keamanan kesehatan global Dicky Budiman angkat bicara.

Ia menekankan bahwa keberadaan zat radioaktif terukur tidak serta-merta berarti berbahaya bagi konsumen dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah respons yang cepat, transparan, dan berbasis sains.

"Adanya kontaminasi Cesium-137 (CS-137) pada makanan laut, misalnya udang, berarti ada aktivitas radioaktif yang terukur di atas ambang batas alami. Namun, ini bukan berarti pasti berbahaya," ujar Dicky Budiman, yang juga merupakan peneliti di Griffith University kepada TheStance.

Dicky, yang memiliki latar belakang studi tentang dampak radioaktif pada kesehatan, menjelaskan bahwa Cesium-137 adalah isotop radioaktif dengan waktu paruh fisik sekitar 30 tahun.

Di lingkungan laut, zat ini berperilaku mirip kalium, sehingga mudah larut dan diserap oleh organisme hidup seperti udang.

Menurutnya, risiko kesehatan bagi manusia tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya kontaminasi, melainkan oleh dosis efektif yang diterima tubuh. Faktor penentunya ada tiga: kadar kontaminasi per kilogram, jumlah konsumsi, dan frekuensi paparan.

"Sebagai ilustrasi, jika udang mengandung 100 becquerel (Bq) per kilogram batas ketat yang diterapkan Jepang dan seseorang mengonsumsi 200 gram, dosis yang masuk ke tubuh sangat kecil. Pada kadar yang lazim dijadikan ambang batas regulasi internasional, risiko kesehatan akut praktis nihil," jelasnya.

Tak Lantas Picu Mutasi

Dicky juga meluruskan misinformasi dan teori konspirasi yang beredar, seperti kemungkinan radiasi menyebabkan mutasi ekstrim.

"Narasi itu adalah hiperbola tanpa dasar ilmiah. Dampak yang diakui secara saintifik pada dosis rendah hingga menengah adalah peningkatan risiko kanker yang sangat kecil, bukan transformasi biologis fantastis," tegasnya.

Tubuh manusia, lanjut Dicky, memiliki mekanisme merespons paparan Cesium-137. Zat ini akan didistribusikan ke seluruh tubuh, terutama otot, dan secara alami akan dikeluarkan lewat urin dengan waktu paruh biologis antara 70-110 hari pada orang dewasa.

Standar keamanan pangan global, yang diatur dalam Codex Alimentarius, telah menetapkan batas aman kandungan radioaktif. Batas untuk Cesium-137 bervariasi antara 100 hingga 1.000 Bq/kg.

Negara setelah riwayat insiden nuklir seperti Jepang (pasca-Fukushima) dan beberapa negara Eropa (pasca-Chernobyl), ambang batas tersebut diketat, yaitu menjadi 100 Bq/kg untuk pangan umum.

"Selama produk berada di bawah ambang batas ini, maka dianggap aman untuk dikonsumsi dan diperdagangkan," katanya.

Dicky menyarankan beberapa langkah strategis agar insiden itu tak merusak reputasi ekspor Indonesia.

Pertama, penilaian risiko cepat dan transparan. Pemerintah harus segera merilis hasil uji laboratorium terakreditasi untuk setiap lot produk yang diekspor, menunjukkan kadar aktivitas dalam Bq/kg.

Kedua, tunjukkan aspek keterlacakan (traceability). Dicky menegaskan agar data asal-usul produk ditunjukkan secara jelas, mulai dari tambak, tanggal panen, hingga rantai dingin (cold chain) untuk membangun kepercayaan.

Ketiga, lakukan uji banding, yakni mengajukan uji bersama dengan laboratorium rujukan di negara tujuan ekspor untuk memastikan hasil yang objektif.

Keempat, perlu komunikasi risiko berbasis sains, dengan membuka forum tanya jawab bagi pasar domestik dan internasional untuk mencegah hoaks dan disinformasi. "Ini adalah salah satu kelemahan yang perlu diperbaiki oleh Indonesia," ujarnya.

Terakhir, pengawasan hulu yang diperketat, dalam hal ini harus fokus pada pengawasan sumber air, pakan, dan potensi kontaminan lingkungan, serta meningkatkan kapasitas laboratorium penguji di dalam negeri.

Baca Juga: MBG Diterpa Isu Babi, BGN dan BPJPH Teken Kerja-Sama Jaminan Produk Halal

Peran lembaga dunia juga penting sebagai penengah dan rujukan teknis untuk menyelesaikan sengketa antarnegara terkait keamanan pangan.

Di antaranya, Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA), Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), dan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agricultural Organization/FAO) .

Dugaan kontaminasi radioaktif pada udang ekspor Indonesia ini memperlihatkan rapuhnya reputasi perdagangan pangan ketika berhadapan dengan isu keselamatan publik.

Meski risiko kesehatan dinilai rendah, transparansi, kecepatan respons, serta koordinasi lintas lembaga menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan pasar internasional.

Bagi Indonesia, peristiwa ini bukan hanya ujian dalam menjamin keamanan pangan, tetapi juga momentum untuk memperkuat standar pengawasan, keterlacakan produk, dan diplomasi kesehatan global. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance