Kamis, 17 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

CATATAN KEBIJAKAN: Di Tengah Badai PHK, Aliansi Buruh Tercerai-Berai

Hal ini menjadi catatan bagi kebijakan organisasi buruh di Indonesia, yang terpecah belah bahkan dalam memperingati Hari Buruh Sedunia.

By
in Headline on
CATATAN KEBIJAKAN: Di Tengah Badai PHK, Aliansi Buruh Tercerai-Berai
Peserta aksi unjuk rasa Hari Buruh Sedunia sedang duduk santai di sela aksi unjuk rasa di Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (1/5/2025).

TheStanceID - Tujuh perempuan duduk berjejer di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, kompak memakai seragam dominan warna merah dan hitam. Mereka bagian dari demo aksi buruh yang terjadi dalam beberapa sif pada Kamis (1/5/2025).

Terik matahari di Semarang tak menyurutkan semangat mereka dalam aksi peringatan Hari Buruh Internasional. Aksi turun ke jalan oleh para buruh tersebut berlangsung sejak siang hingga sore hari.

Salah satunya adalah Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI). Selain melibatkan buruh, mereka mengajak juga perwakilan petani, mahasiswa, serta jaringan masyarakat sipil.

Atribut seperti bendera, spanduk berisikan tuntutan turut mewarnai aksi tersebut. Di tengah kerumunan massa, panitia juga menyediakan mobil komando sebagai panggung protes.

Selain serikat buruh dari KASBI, unjuk rasa juga dilakukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) pukul 11.00 WIB, disusul KASBI (pukul 13.00), lalu yang terakhir dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) pukul 14.30 WIB.

Pada aksi tersebut, dalam pengamatan The Stance, aliansi buruh tidak berhimpun menjadi satu karena perbedaan visi serta orientasi kepentingan, meski poin-poin tuntutan yang disampaikan dari tiap aliansi buruh tidak jauh berbeda.

Hal serupa juga terjadi di Jakarta, sebagaimana laporan Kompas.

Aksi massa buruh terpecah dua, di mana keduanya berakhir jauh berbeda. Aksi buruh yang dekat dengan pemerintah berlangsung semarak, tetapi aksi buruh independen diwarnai aksi pembubaran dan pemukulan aparat.

Perjuangkan Nasib PRT

UU Cipta kerjaDengan hati-hati, Nur Khasanah dari Serikat Pekerja Rumah Tangga Merdeka menaiki mobil komando. Di kepalanya terikat kain serbet berwarna merah, merepresentasikan bahwa ia mewakili suara rekan sesama pekerja rumah tangga.

Dalam orasinya, ia mengecam segala bentuk kekerasan yang dialami para pekerja rumah tangga. Upah murah, kekerasan, pelecehan, menjadi gambaran keadaan yang masih dialami oleh para pekerja rumah tangga.

Nur juga mendesak pemerintah khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang mandek bertahun-tahun di parlemen.

Ditemui pasca berorasi, Nur menjelaskan bahwa sebenarnya RUU PRT telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bahkan masuk Badan Legislatif (Baleg), tapi belum juga disahkan.

“Setiap tahunnya masuk di prolegnas, lalu baleg, kemudian masuk di meja Bu Puan Maharani, itu Bu Puan tinggal mengadakan rapat paripurna untuk mengesahkan undang-undang perlindungan, tetapi Bu Puan terus menunda-nunda,” tutur Nur.

Upaya audiensi pernah dilakukan agar RUU PRT segera disahkan, tetapi hasilnya selalu nihil. Oleh karena itu, Nur menuding pemerintah abai menjamin keselamatan perempuan di tengah masih maraknya kekerasan terhadap PRT.

“Ketika terjadi kasus besar yang membuat PRT mengalami kekerasan hingga trauma dan ramai, pemerintah seakan-akan menjadi malaikat dengan ramai-ramai menghujat,” kata Nur.

Namun, lanjut dia, pemerintah tidak kunjung menciptakan regulasi yang kuat untuk mencegah terulangnya kekerasan serupa terhadap ribuan PRT lainnya.

Buruh Migran Tak Juga Terlindungi

demo buruh SemarangSelain Nur, mantan pekerja migran, Sri Utami, turut berorasi dengan lantang di depan ratusan massa. Ia memprotes perlakuan negara yang masih mengesampingkan nasib para pekerja migran.

Pelabelan pahlawan devisa bagi para pekerja yang selama ini dielu-elukan oleh pemerintah hanya omong kosong demi melihat perlakuan pemerintah terhadap buruh migran.

Perlakuan diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, hingga menjadi korban perdagangan manusia, masih menjadi isu yang lekat dengan pekerja migran, tapi masih luput dari perhatian pemerintah.

Sri Utami juga menyorot bahwa setiap proses yang dilalui oleh para pekerja migran masih bermasalah.

“Kompleks. Dari pra penempatan, penempatan, bahkan pemulangan, itu semuanya penuh dengan masalah. Saat mereka masuk Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) sudah banyak eksploitasi, bayar penempatan juga sangat tinggi,” tuturnya.

Pekerja migran yang rentan menjadi korban perdagangan manusia, Utami menuturkan bahwa masih banyak kasus perdagangan manusia karena tergiur dengan tawaran bekerja di luar negeri, tetapi tindakan dari pemerintah masih minim.

Ditambah konflik dengan agensi yang seharusnya menjadi mitra kerja justru berubah menjadi patron-client yang posisinya berseberangan.

“Tidak ada tindakan serius dari pemerintah. Hanya lip service saja, yang mereka katakan itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan,” kata Utami.

Baca juga: Nestapa Anak Buruh Migran di Kedah: Puluhan Tahun Tak Bisa Mudik

Sebagai mantan pekerja migran, Utami juga menceritakan perihal mengurus jenazah tenaga kerja yang meninggal di negara penempatan. Menurutnya, pemerintah belum serius menangani permasalahan ini.

Pemerintah hanya sebatas memberi biaya pemakaman dan dukacita, tapi mengabaikan hak-hak yang lain seperti pengurusan klaim asuransi.

Menjadi pekerja migran selama 25 tahun, Utami menilai tak ada yang berubah dari cara pemerintah dari tahun ke tahun dalam menyikapi nasib pekerja migran. Ia menilai permasalahan ini berakar dari sistem yang dari awal memang tidak pro-pekerja.

Selain memperjuangkan hak pekerja rumah tangga dan pekerja migran, para peserta aksi di Semarang menuntut pencabutan UU Cipta Kerja, menolak sistem kerja kontrak, outsourcing, di tengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK).

Meski tuntutan umum mereka sama yakni penghapusan sistem outsourcing dan menuntut kesejahteraan buruh, tetapi ada detil tuntutan yang saling berbeda. Misalnya, terkait isu revisi UU TNI, revisi UU Polri, dan UU pekerja rumah tangga (PRT).

Hal ini menjadi catatan bagi kebijakan organisasi buruh di Indonesia, yang terpecah belah bahkan dalam memperingati Hari Buruh Sedunia. Padahal, badai PHK sedang menerjang di depan mata. (mhf)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\